"Apa aku kualat sama umi ya, La?"
"Kenapa memang, Mas?"
Hanan meletakkan peci dan mushaf di rak kecil yang ada di ruang sholat mereka. Barusan dia duduk anteng sambil menyimak Laila. Kemudian karena istrinya mengeluh pusing saat sampai di juz yang dianggap sulit, Hanan menyuruhnya istirahat dulu. Sekalian dia sendiri juga merasa ngantuk karena setengah jam duduk menyimak Laila murajaah itu rasanya campur aduk. Bangga dan bersyukur itu pasti. Tapi tak diingkari juga merasa ngantuk karena tak banyak yang harus dibenarkan dari bacaan Laila.
"Karena tidak memberi tahu umi dulu kalau mau tinggal di sini. Akhirnya Cari tempat buat kantor belum ada yang cocok." jawab Hanan sambil merebahkan diri di samping Laila yang sudah tekun mengoperasikan ponselnya.
"Di rumah aja udah, Pak. Itu masih ada satu ruangan kosong." Laila mengulang usulannya meskipun sudah dua kali ditolak oleh Hanan.
Dari tempatnya berbaring, pria itu melirik Laila karena merasa lucu. Istrinya itu bisa merubah-rubah panggilan dalam sehari. Jangankan sehari, dalam satu percakapan saja bisa ganti. Suka-suka Laila saja, Hanan tidak begitu mempermasalahkannya saat di rumah.
"Ada dua orang yang akan kerja bareng. Maunya di rumah ini hanya untuk tempat kita saja. Kalau ada orang lain jadi nggak privasi lagi."
Mungkin jika Hanan menyadari, kini pipi Laila merona karena tersipu mendengarnya. "Iya juga. Apalagi kalau nanti ada anak-anak ya? Tapi Daripada setiap hari muter kota Ngawi nggak dapet-dapet, sementara aja di sini." jawabnya.
Yang semula kepalanya terangkat, Hanan kembali ke posisi tiduran. Matanya menatap lurus ke arah atas sedangkan tangannya mengusap-usap kaki Laila yang masih tertutup mukena.
Semula, Laila fokus ke hp tapi kini terpaksa meletakkannya karena ingin melihat wajah Hanan. "Udah tambah tua, nggak pengin punya anak, Mas?"
Hanan tertawa mendengarnya. "Aku selalu kalah, La, kalau kamu bawa-bawa tua."
Laila ikut menampilkan cengiran. Dia hendak berkata lagi tapi keduluan Hanan yang berdiri dan menyuruhnya untuk menyusul ke ruang tamu, hingga pembahasan tentang anak berhenti begitu saja.
Timbul gelenyar aneh di hati Laila. Namun segera ia mengabaikannya dan memilih melaksanakan perintah suaminya. Ia lepas mukena kemudian beranjak ke ruang tamu.
"Wah, masih dapat kado nikahan?" Laila mengajukan pertanyaan ketika ia tiba di ruang tamu dan melihat Hanan membawa masuk dua kado berbungkus kertas batik.
"Tadi aku sempat ketemuan sama Arwan dan Rosyid. Mereka titip ini."
Laila meraih salah satunya untuk dibuka. "Rosyid?"
"Dia dan Arwan teman-teman dekatku. Karena Rosyid pulang kampung nya jauh, luar Jawa, jadi yang sampai saat ini masih dekat, ya Arwan. Kebetulan Rosyid ada keperluan ke sini, sekalian mau ketemu."
Senyum Laila mengembang mendengar Hanan menyebut dua santri itu sebagai teman dekat. Itu artinya mereka benar-benar dianggap dekat.
"Aku sampai lupa kalau mas Arwan waktu itu nggak bisa datang di acara nikahan kita."
"Nggak kuat mungkin mau datang." jawab Hanan yang membuat Laila dengan cepat menoleh ke arahnya.
"Seperti aku waktu itu. Nggak pengin ketemu kalian sebelum siap." Hanan menambahkan ketika menyadari ekspresi Laila berubah.
"Aku pernah merasa jadi perusak hubungan pak Hanan dan mas Arwan, lho."
Hanan buru-buru menggeleng. "Tidak lah, La! Bukan begitu niatnya. Insyaallah semua sudah baik-baik saja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomanceAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...