"Laila?"
Panggilan ke lima dari Hanan yang tengah sibuk mencari keberadaan istrinya. Sejak menginjakkan kaki sepulang kerja, Laila yang pertama kali dia tuju pasalnya ini kali pertama dia meninggalkan Laila di kediaman orangtuanya sendirian. Mulai dari kamar, kamar mandi, dapur, belakang rumah dan terakhir di area asrama putri meskipun hanya lewat pintu dapur. Namun belum juga menemukan sosok wanita yang dicintai nya.
"Kamu kenapa, Han?" Pertanyaan yang berasal dari Nafisah. Kakak perempuannya itu berada di sana karena ikut mengurus abah setelah sepuluh hari dirawat dan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
"Tau Laila di mana, Mbak?" tanya Hanan.
Sebelum menjawab, Nafisah mengamati adiknya yang amat sangat terlihat khawatir. Dalam hatinya ikut menyesalkan apa yang terjadi hingga bisa membuat adiknya ini sering bersikap berlebihan, apalagi jika itu menyangkut Laila.
"Laila pergi sama umi dan abah. Jadwal kontrol."
Hanan semakin tak bisa tenang. "Kenapa nggak nunggu aku pulang? Kenapa Mbak Nafis juga nggak ikut?"
Terpaksa Nafisah meletakkan piring yang dia bawa. Rencana dia ingin makan namun melihat Hanan yang mulai tak terkendali, akhirnya dikesampingkan dulu niatnya itu. Kemudian dia menarik Hanan agar duduk dan mengambilkannya air putih.
"Minum dulu!" ucapnya sembari menyerahkan gelas berisi air putih dingin.
Hanan mengambilnya tanpa suara. Dia memang butuh air. Dan hanya dengan waktu singkat, gelas itu kembali kosong.
"Tadi siang ada pemberitahuan dari rumah sakit kalau jam praktek dokter syarafnya berubah. Kita ditawari ganti jadwal atau datang ke sana segera. Abah menginginkan segera kontrol, jadi tadi langsung berangkat. Aku tidak ikut karena Laila yang melarang. Dia menawarkan diri untuk menemani abah dan umi, karena dia juga kasihan kalau aku harus ninggal bayi."
Walaupun penjelasan Nafisah sudah sangat panjang dan gamblang, nyatanya Hanan belum bisa menghilangkan kegelisahannya dan itu tertangkap jelas oleh Nafisah.
"Aku pikir kamu lebih mengenal Laila. Aku saja yang baru akrab belum lama sudah yakin kalau dia itu...." Nafisah agak ragu untuk melanjutkan ucapannya, tapi pada akhirnya tetap mengatakannya. "berbeda dengan Naila."
"Bukan ingin membandingkan, tapi memang harus dibandingkan agar kamu tenang. Laila lebih luwes dalam menghadapi situasi, tidak akan keras sama keras seperti umi dan Naila. Dan insyaallah, umi pasti akan banyak belajar dari pengalaman pahit sebelumnya. Kamu jangan suudzon sama umi sendiri lah! Nggak baik."
Wajah Hanan berubah drastis. Berubah dari yang penuh ketegangan menjadi lebih lega meskipun tidak benar-benar lega karena belum bertemu dengan Laila.
"Aku tidak suudzon. Hanya ingin mempertahankan Laila."
Nafisah mengulum senyum tipis. "Dia tidak akan kemana-mana."
Percakapan keduanya terhenti saat mendengar suara mobil yang perlahan memasuki halaman. Dengan cepat Hanan keluar dan benar saja mobil itu yang membawa Laila serta kedua orangtuanya. Langsung dia mendekat untuk membantu memposisikan abahnya di kursi roda meskipun tatapannya tetap tertuju pada Laila.
"Bagaimana tadi kata dokter, Umi?" tanya Hanan sambil mendorong kursi roda, di sampingnya Laila berjalan sambil membawa map hasil pemeriksaan laboratorium.
"Alhamdulillah baik. Disarankan seminggu tiga kali difisioterapi. Alhamdulillah juga ada layanan homecare nya jadi nggak perlu kita bolak-balik rumah sakit." jawab Mawa.
Hanan ikut bersyukur mendengarnya kemudian kembali melirik Laila yang juga kebetulan sedang menatapnya. Senyuman manis langsung Laila suguhkan, seolah ingin mengatakan semua baik-baik saja karena Laila tau, Hanan pasti gelisah memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
Roman d'amourAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...