Part 18 : Mug Hijau

1.6K 411 84
                                        

Sedih dan kehilangan mendalam itu pasti. Tapi kehidupan harus tetap berjalan. Semua mencoba menjalani hidup normal meskipun rasanya tidak akan sama seperti ketika masih ada sosok kepala keluarga itu.

Dari sekian jumlah anggota keluarga, Laila yang masih belum bisa menemukan semangatnya. Sang ibu, perlahan sudah mulai kembali beraktivitas sedangkan Laila masih betah berdiam diri di rumah, bahkan sudah beberapa hari perkuliahannya dimulai, dia belum juga berniat berangkat.

Seperti yang terjadi dua hari yang lalu, Pipin kembali mendatangi rumah sahabatnya itu setelah selesai kuliah. Dia tak keberatan untuk jauh-jauh datang demi memberi semangat dan membagi materi kuliah yang dilewatkan oleh Laila.

"Kamu belum kenal sama dosen baru sih! Makanya besok berangkat terus ketemu dosen baru. Nggak jadi sama pak Hanan sama yang ini nggak nyesel deh."

Laila hanya tertawa pelan mendengar Pipin menggebu-nggebu menceritakan dosen pengampu mata kuliah yang baru ditemui di semester baru ini. "Memang sebenarnya tujuan kamu kuliah apa sih, Pin? Kamu kebanyakan baca novel kisah dosen dan mahasiswa."

Pipin hanya meringis. Walaupun dapat ledekan, tapi lega karena setidaknya bisa melihat Laila tertawa. Biasanya, Laila yang pembawaannya ceria dan semangat yang selalu membuatnya tidak kesepian. Sifat Laila yang keibuan juga yang membuat Pipin rindu. Sahabatnya itu sering menasehatinya di berbagai hal. Sungguh Pipin merindukan itu semua.

Di tengah tawanya, Pipin terfokus pada mug berwarna hijau usang yang dipakai Laila untuk minum teh. Berbeda dengan minumnya yang memakai gelas biasa.

"Kata orang, kalau mau cepat lupa, semua barang yang berhubungan harus disingkirkan." ujar Pipin.

Laila ikut melihat ke arah mug dan langsung paham maksud Pipin. "Ya aku nggak niat melupakan bapak, Pin. Mug ini kesayangan bapak buat minum teh kalau pagi-pagi. Aku lagi kangen, jadinya pakai ini. Nggak akan aku buang." jawabnya.

Pipin kembali hanya bisa mengusap bahu sahabatnya itu untuk menguatkan.

"Kamu sayang banget sama bapak kan, Lai?" tanya Pipin yang sudah pasti mendapatkan anggukan dari Laila. "Kalau begitu, pasti kamu mau kembali semangat kuliah. Kata kamu, bapak ingin sekali agar kamu bisa menyelesaikan kuliah dengan baik."

Laila menarik kedua kakinya ke atas kursi dan memeluknya erat. Pipinya kembali basah karena teringat wajah bapaknya ketika memberi semangat agar dirinya kuliah dengan baik. Tapi banyak sekali hal yang membuat Laila berat untuk meneruskannya.

Keduanya berubah gugup ketika tau-tau ada sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Pipin membenarkan posisi duduknya, begitu juga Laila, langsung mengusap pipinya yang telah basah.

Hanan dan juga Arwan keluar dari mobil itu. Kunjungan kedua Hanan, setelah tau Laila belum bisa masuk kuliah lagi. Sesaat sebelum mengucapkan salam, Hanan memperhatikan Laila yang masih jelas sekali jejak air matanya.

Setelah mempersilakan duduk, Laila pamit masuk untuk membuatkan minuman untuk tamu barunya. Kemudian, ikut larut dan obrolan dosennya dan Pipin yang sudah terlebih dulu dimulai.

"Jadi kapan mau berangkat, La?" Setelah beberapa saat ngobrol, Hanan dengan tenang dan hati-hati menanyakan kesanggupan mahasiswanya itu. Hanan paham sekali jika Laila masih berduka, tapi tidak dengan meratapinya terlalu lama sehingga membuat kuliahnya terbengkalai.

Laila hanya bisa menunduk, bahkan dia sendiri tidak tau apa yang harus dilakukan. Dia seperti kehilangan arah setelah bapaknya meninggal.

Arwan dan Pipin, anak lain bapak lain ibu tapi sama-sama dianugerahi kepekaan yang bagus. Keduanya sama-sama memberi waktu untuk Hanan dan Laila. Arwan pamit mengambil ponselnya yang tertinggal di mobil, sedangkan Pipin pamit ke kamar mandi.

Di Persimpangan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang