Apa yang membuat seseorang itu dikenali sebagai seorang Nyai atau pengasuh pondok putri?
Jawabannya, bisa saja ketika sedang mengajar ngaji, ketika sedang memberi tausiyah, ketika sedang bersama santri, atau ketika sedang bersanding dengan kyai.
Tapi khusus untuk Laila kali ini, dia mengenali seseorang sebagai pengasuh sebuah pondok putri bukan karena alasan-alasan itu melainkan karena seseorang itu sedang bersama Arwan.
Ya, Arwan. Pemuda yang ia kenal sebagai santri kesayangan Hanan. Pria itu kini sedang membungkuk di depan seorang wanita yang akan turun dari mobil. Wanita it terlihat begitu bersahaja dan cantik di mata Laila. Namun kekagumannya itu hanya bertahan sesaat karena selanjutnya berganti dengan rasa kaget yang luar biasa ketika Arwan dan wanita itu berjalan ke arahnya.
"Mbak Laila, maaf sedikit terlambat." ucap Arwan setelah mengucapkan salam dengan gestur kaku, tidak seperti Arwan yang Laila kenal sebelumnya.
Laila tetap tersenyum menyapanya meskipun masih bingung dengan kedatangan Arwan yang tidak sendiri melainkan bersama dengan wanita yang kini menatapnya dengan cukup intens. Tadi Arwan mengirimkan pesan untuk bertemu sebentar dengan alasan memberikan catatan materi dari Hanan yang harus dia pelajari untuk dibuat slide materi.
Sebelumnya pun juga pernah, Arwan mengantarkan sesuatu padanya, bahkan lebih sering Hanan sendiri padahal menurut Laila daripada repot bertemu, materi bisa dikirim email atau jika dirangkum dengan tulisan tangan, bisa difoto dan dikirimkan tapi menurut Hanan lebih jelas jika bertemu.
"Kenalkan ini Umi Mawa, Mbak Laila!"
Meskipun masih belum paham siapa wanita yang dikenalkan oleh Arwan, Laila tetap berdiri untuk sungkem padanya.
"Ini Mbak Laila? Saya uminya Hanan." ucap wanita itu.
Terang saja rasa terkejut juga gugup langsung menyerang Laila. Hanya kebetulan bertemu atau wanita yang telah melahirkan dosennya ini sengaja mendatanginya? Jika sengaja, dengan tujuan apa?
"Oh, iya...." kalimat Laila menggantung karena dia bingung harus memanggilnya apa.
"Panggil umi juga!" sahut Mawa seperti tau maksud kebingungan Laila. "Ayo duduk lagi!"
Laila duduk sambil melempar tatapan penuh tanya pada Arwan. Sedangkan pria itu hanya meringis sambil geleng-geleng karena juga tidak tau apa tujuan Mawa tiba-tiba datang ke sini dan minta Arwan mengantarkannya bertemu Laila.
Kalau untuk tiba-tiba datang ke sini mengunjungi Hanan, sudah bukan hal mengejutkan. Tapi tiba-tiba meminta bertemu Laila adalah sesuatu yang membuat Arwan kelabakan dan tak mampu berpikir panjang hingga akhirnya terpaksa mengantar Mawa tanpa sepengetahuan Hanan.
Dan sekarang di saat dua wanita di depannya sedang saling bertukar cerita, dia duduk gelisah karena bingung harus memberitahu Hanan sekarang atau nanti.
"Oh jadi dulu nyantrinya di Kediri ya? Sekarang semester berapa?" Mawa bertanya sesuatu yang lebih detil setelah beberapa saat mereka berbasa-basi perkenalan.
"Inggih Umi, alhamdulillah berkesempatan menimba ilmu di sana. Dan sekarang saya semester empat." jawab Laila.
Wanita berbalut busana serba cokelat itu mengangguk sekaligus menyunggingkan senyum tipis. "Cukup jauh ya jarak usianya sama Hanan. Kamu nggak apa-apa?" tanyanya tanpa ragu.
Jelas saja mata Laila membulat sempurna dan tujuan tatapannya kini beralih ke Arwan yang tetap mempertahankan ekspresi antengnya di depan umi Mawa.
"Saya? Maksudnya gimana Umi?"
Mawa kembali menyunggingkan senyum tapi tetap membuat jantung Laila berdegup kencang karena wajah wanita di depannya ini tetap saja terlihat tegas. "Kamu ini adik iparnya Ning Kia ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomansaAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...