Dengan sabar Laila menunggu Hanan yang masih belum ingin beranjak dari area pemakaman. Pria itu berulang kali mengusap pusara kecil yang tak bernama. Dan beberapa saat kemudian akhirnya dia berdiri.
"Pulang sekarang?" tanyanya.
Laila mendenguskan tawa, seharusnya yang bertanya seperti itu dia bukan Hanan.
"Ikut aja, mau sampai malam juga ayo!"
Hanan kemudian merangkul pundak istrinya untuk diajak jalan meninggalkan area pemakaman. "Jangan! Malam untuk kegiatan yang lain."
"Tidur 'kan?" sahut Laila.
"Kalau kamu mau yang lain juga boleh." jawab Hanan santai namun ekspresinya benar-benar membuat Laila geregetan. Salah dia sendiri juga sih sebenarnya.
Mereka berdua berjalan saling merangkul. Melewati jalan kecil di antara kuburan-kuburan. Suasana sunyi, tak banyak peziarah yang datang.
"Rumah mantanmu di mana, Mas?"
"Kalau caramu bertanya begitu, kamu benar-benar seperti ABG, La! Bahas-bahas mantan, giliran dijawab nanti ngambek."
Langsung Laila menutup mulutnya sambil tertawa. Benar juga apa yang dikatakan orang lebih tua ini.
"Tapi serius, pengin tau di mana rumah bu Naila?"
"Tidak jauh dari sini. Mau mampir?"
Laila mendongak untuk mengetahui ekspresi apa yang tercetak di wajah Hanan ketika menawarkan mampir ke rumah mantan istrinya.
"Memang tidak apa-apa kalau mampir?" tanyanya.
Dengusan tawa tercipta di bibir Hanan. "Tidak usah saja. Keluarga Naila semuanya pegawai dan sibuk, baru pada pulang habis maghrib."
Diam-diam Laila mendengarkan sambil tersenyum lega. Tidak ada lagi beban di wajah Hanan ketika berbicara tentang segala sesuatu yang menyangkut Naila. Perubahan yang cukup Laila syukuri, meskipun untuk menjadi seperti sekarang ini, dia harus banyak sabar. Bahkan harus jadi istri durhaka juga.
Sebelum membuka pintu mobil, Laila berhenti karena ingat sesuatu. "Aku harus ikut ke mana setelah ini?"
Dia ingat kemarin Hanan memberi syarat ketika menyanggupi berziarah ke leluhur Naila. Dan ketika ditanya, pria itu masih saja membuat Laila harus kembali bersabar.
"Masuk dulu aja!" jawab Hanan sambil tersenyum jahil.
Daripada harus memaksa Hanan menjawab dan berakhir uring-uringan sendiri, Laila memilih menuruti ucapan suaminya. Masuk ketika Hanan dengan sigap membukakan pintu untuknya. Kemudian setelah memastikan Laila duduk aman, dia sendiri segera berputar arah untuk masuk ke mobil.
Tawanya tercipta begitu saja ketika melihat Laila yang mati-matian menahan rasa penasaran. Sungguh istri yang penurut. Akhirnya karena tidak tega menjahilinya terus menerus, Hanan membuka dashboard dengan tangan kiri sementara tangan kanannya menyetir.
"Ini yang mau aku tunjukin dari kemarin." ucapnya.
Mata Laila berbinar ketika suaminya dengan baik hati mau menyudahi rasa penasarannya. Diterimanya sebuah map berisi beberapa dokumen.
"Ini pasporku?"
"Iya, insyaallah dua bulan lagi kita berangkat umroh." jawab Hanan yang diakhiri dengan menepuk puncak kepala Laila.
Semakin berbinar saja Laila mendengarnya. Salah satu keinginan umat muslim pasti bisa pergi haji ataupun umroh. Dulu, dia hanya bisa berdoa dan sekuat hati meyakini bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Meskipun sebagian hatinya tetap ada rasa ragu bisa pergi ke tanah suci mengingat keadaan ekonomi keluarganya yang begitu pas-pasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomanceAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...