"Laila dikasih uang lagi? Bukannya kemarin sudah? Apa membeli bensin itu tiap hari?"
"Namanya juga butuh buat perjalanan, Buk. Nanti kalau ada ban bocor atau dia kehausan kan kasihan kalau tidak pegang uang."
"Ya terus ini gimana, sudah waktunya bayar listrik, Pak! Yusuf juga betah banget di Semarang."
"Buk, Yusuf itu sakit lho di sana, mbok di doain bukan malah ditambahi beban seperti itu!"
Laila yang sudah rapi siap berangkat kuliah, memilih kembali menghempaskan diri ke kasurnya yang menipis ketika mendengar perdebatan kedua orangtuanya. Matanya nanar menatap kayu-kayu yang berjejer menyangga genting. Setetes air mengalir di kedua ujung matanya. Timbul rasa menyesal kenapa waktu itu dia memaksa kuliah dan sekarang di saat sudah masuk semester tiga, banyak sekali hal yang membuatnya ingin berhenti.
Dengan cepat dia mengusap pipinya yang basah. Kembali merajut semangatnya, kalau dia menyerah, mungkin keadaan keluarganya akan begini-begini saja, maka dia bertekad ingin merubah semuanya, dengan cara memperbaiki taraf pendidikannya. Keberuntungan itu tidak terus menerus bisa dipaksakan.
"Pak, Buk, Laila berangkat." Ia terpaksa memotong perdebatan mereka yang belum usai.
"Nggak usah, Pak! Laila masih ada kok." tolak Laila ketika bapaknya ingin memberinya tambahan uang.
"Yang benar?" Sang Bapak meyakinkan.
Laila mengangguk. Dia tidak bohong, memang masih ada uang di dompetnya, perkara jumlahnya sedikit atau sedikit sekali itu pikir belakangan, yang penting kan tetap ada uangnya.
Sebenarnya mau ngeluh, tapi apa dengan mengeluh itu bisa merubah kehidupannya? Tentu tidak. Jadi mengeluh itu sekali dua kali saja, selanjutnya tetap jalani apa yang ada.
"Semangat Laila manis!" ucap Laila pada dirinya sendiri sambil berkaca lewat spion motornya kemudian membawanya melaju menuju kampus tercinta.
Laila memacu motornya dengan kecepatan rata-rata—menurutnya—sambil terus menekan tasbih digital yang melingkar di telunjuknya, sejalan dengan bibir mungilnya yang terus menyebut asma Allah. Baru ketika sampai, segera dia simpan benda kecil kesayangan oleh-oleh dari Bu nyainya dulu ketika umroh ke dalam tasnya.
"Laila!!"
Tubuh Laila otomatis berputar saat namanya diteriakkan oleh seseorang. Wajahnya langsung pura-pura lesu saat mendapati Pipin yang berlari ke arahnya. "Pagi-pagi lihat kakak ketua BEM kek, biar semangat. Malah ketemunya kamu terus." candanya.
Jelas saja Pipin tidak terima. "Dosa kamu itu!"
Laila balas mencebik, biasanya Pipin yang paling semangat jika harus berurusan dengan orang-orang BEM, apalagi Sang Ketua yang memang terkenal di kalangan mahasiswi.
Keduanya bergandeng tangan menuju kelas. Laila bersyukur karena bisa kenal dengan sosok Pipin yang begitu baik kepadanya meskipun di balik itu, masih sering meledeknya.
Sebelum sampai kelas, Pipin berhenti lalu bersorak membuat Laila terpaksa harus menanyakan alasannya.
"Buka grup kelas deh, Bu Venda absen lagi. Jam ini kosong." Pipin menjelaskan dengan wajah sumringah, bahkan lebih semangat dari saat dia datang tadi.
Laila ikut menyimak info terbaru di chat grup teman-teman sekelasnya. Dan benar, Bu Venda yang seharusnya ada kuliah di jam pertama pagi ini, kembali pamit.
"Bu Venda kayaknya mau pindah ya? Soalnya sering kosong." gumam Pipin.
"Mungkin iya!" jawab Laila kemudian menarik sahabatnya itu menuju perpustakaan meskipun mendapat penolakan karena Pipin ingin ke kelas. Tapi akhirnya dia tetap mengikuti langkah Laila.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
Любовные романыAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...