"Mbak! Duduklah, biar aku aja. Mbak Kia pucet banget. Pasti capek dari kemarin banyak di rumah sakit. Maaf ya, Mbak."
Laila merasa prihatin melihat kakak iparnya yang terlihat begitu lelah. Selain dirinya, kakak iparnya lah yang sering begadang menjaga ibu selama di rumah sakit.
"Makasih ya, La!" balas Kia kemudian duduk, membiarkan adiknya yang meneruskan membuat minum untuk para tamu yang menjenguk ibu mereka yang hari ini baru pulang dari rumah sakit.
Di kampung tempat mereka tinggal, rasa toleransi dan kekeluargaan antar warga masih tinggi. Sejak ibu mereka pulang, tetangga silih berganti menjenguk. Bahkan suasana rumah baru sepi ketika malam datang.
Selepas maghrib Laila baru bisa meluruskan kaki setelah membereskan semua gelas dan piring kotor bekas menjamu tamu. Dia mengambil tempat di samping kakaknya, Yusuf.
Sejenak, Laila merasakan ruangan di rumahnya itu memanas. Kakak keduanya yang bernama Nuri beserta istrinya—Meriana, sedang pengakuan dosa di hadapan bapak, ibu dan semua keluarga.
Gara-gara mereka yang suka bermain utang, dampaknya sampai ke semua keluarga. Ibu dan bapaknya sampai sakit, dan ujungnya, Yusuf lah yang harus turun tangan ikut menyelesaikan.
Tapi, saat ini Laila bisa ikut bernapas lega ketika perlahan masalah yang belakangan ini memberatkan keluarga nya, bisa teratasi. Entah dari mana Nuri mendapatkan jalan keluar, yang jelas, dia tidak harus berurusan dengan polisi. Laila sangat bersyukur, karena dengan begitu, ibu dan bapaknya tak lagi diserang beban pikiran, dan juga, kakak yang paling dia sayangi—Yusuf, tidak lagi ikut susah.
"Terimakasih untuk Ning Kia juga karena bersedia membantu kami sehingga aku tidak harus berurusan dengan polisi dan tidak sampai mencoreng nama baik keluarga. Terima kasih, dan maafkan atas sikap kurang baik kami selama ini."
Ucapan Nuri berhasil merebut perhatian Laila. Gadis itu meletakkan ponsel dan memilih mendengar kan kelanjutannya. Setau Laila, Yusuf dan Kia tidak pernah mau menghubungi keluarga Kia, tapi kenapa Nuri bicara seperti itu?
"Kemarin kami sudah sangat putus asa, hampir ingin minggat dari sini tapi karena kebaikan mbak Kia dan saudara nya akhirnya, kami dapat jalan keluar, aku bisa menutup tuntutan bank dan mereka tidak jadi membawa masalahku ke polisi." lanjut Nuri.
Pandangan Laila beralih ke Kia yang nampak terkejut. Mulai dari sini, Laila ikut bingung, sebenarnya apa yang terjadi di keluarganya.
"Saudaraku?" tanya Kia.
Nuri dan Meriana kompak mengangguk. Lalu Meriana yang kini bergantian berbicara. "Kami dapat bantuan pinjaman dari saudaranya Mbak Kia. Awalnya dia hanya mau membantu kami saja, tapi pas Mas Nuri tanya lagi, dia hanya bilang saudaranya Mbak Kia yang jadi dosen."
Kening Laila berkerut. Dia dan Kia adalah teman curhat paling kompak, saling bertukar cerita. Seingatnya, Kia belum pernah menceritakan tentang hal itu.
"Dia benar-benar hanya ingin membantu kami, dan untuk mengembalikan uangnya, kami disuruh mencicil ke Kia saja." imbuh Nuri.
Setelah kalimat terakhir itu, tak ada balasan apapun dari yang lain. Bapak sepakat menutup perbincangan malam ini. Sebelum masuk ke dalam kamarnya, Laila sempat melirik Yusuf dan Kia yang wajahnya menegang.
Sampai di kamar, matanya tak juga bisa terpejam. Masalah keluarga nya ini benar-benar menguras pikirannya. Entah kenapa timbul perasaan tidak enak dalam dirinya. Hanya bisa berharap, semoga setelah ini, keluarganya selalu baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomanceAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...