Banyak nasehat kesehatan yang mengatakan bahwa manusia butuh minum setidaknya delapan gelas perhari untuk memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh. Perhari itu artinya selama dua puluh empat jam.
Lalu apa yang terjadi jika delapan gelas itu dihabiskan dalam beberapa jam saja? Tentunya akan menimbulkan efek tidak nyaman di perut.
Itulah yang saat ini sedang Laila alami. Berada di salah satu tempat makan di kotanya, sudah menghabiskan tiga gelas minuman dan sedang menunggu minuman ke empatnya disiapkan oleh pramusaji. Perutnya sudah mulai bergejolak, bahkan rasanya sudah tak bisa menerima cairan lagi. Tapi belum ingin dia beranjak dari sana.
Bermenit-menit dilalui dengan duduk di sana sendiri. Melamun, merenung dan entah apa lagi. Yang pasti, saat ini dia tak punya cukup niat untuk meninggalkan tempat itu setelah satu jam yang lalu seseorang pamit untuk lebih dulu pergi. Seseorang yang tempo hari mengajaknya bertemu setelah Pipin memberikan nomor pribadinya. Seseorang yang sungguh di luar ekpektasinya.
Di awal dia mengira bahwa Pipin akan menambah beban nyeri kepalanya dengan mengenalkan pada seorang laki-laki. Benar, jika beban nyeri kepalanya bertambah, tapi bukan karena memikirkan tentang taarufan atau semacamnya melainkan karena yang datang menemuinya adalah seorang perempuan yang mengenalkan diri sebagai kakak perempuan Hanan.
"Laila, saya cerita panjang lebar begini bukan untuk mengusik hidup kamu. Maafkan saya yang tak tau kenapa ingin bertemu kamu, saya hanya merasa ingin cerita ke kamu. Sudah lama saya ingin bertemu, tapi baru sekarang ada kesempatan. Jangan pikirkan apapun ya! Saya paham jika apa yang terjadi pada adik saya sama sekali tidak ada urusannya denganmu."
Laila mengdengus pelan ketika ingat kata-kata perempuan yang mengenalkan diri sebagai Nafisah. Bagaimana mungkin dia meminta agar Laila tidak memikirkan apapun. Bukannya tujuan dia menemui Laila adalah untuk menambah daftar pikirannya?
"Lai."
Lamunan Laila buyar karena Pipin tiba-tiba sudah duduk dan mengambil minumannya yang belum lama diantar.
Tak berminat untuk menjawab Pipin, Laila memilih terus menatap calon pengantin di depannya itu. Hingga lama kelamaan Pipin bergerak gelisah karena terus ditatap Laila.
"Mengingat kamu kenal dengan kakaknya pak Hanan, dan tadi juga beliau banyak menyebut namamu, aku yakin ada hal-hal yang belum kamu ceritakan ke aku, Pin!" ucap Laila.
"Kamu selama ini sering komunikasi sama pak Hanan ya, Pin?" cecar Laila lagi karena Pipin hanya diam. Bukan diam tepatnya, tapi menunggun Laila tenang.
"Enggak. Yakin, Lai, cuma beberapa kali waktu itu. Setelahnya, tidak pernah lagi sampai sekarang." jawab Pipin.
"Waktu itu? Kapan?" Laila tak sabar, sekalian saja dia mendengar hal-hal yang tak terduga agar hari ini saja dia banyak mendapatkan terapi jantung.
Pipin tak lagi ingin menutupi apa yang terjadi. Sebelumnya dia menyeruput lagi agar tenggorokannya basah dan lancar bercerita.
"Kalau kamu pernah khawatir tentang pak Hanan tau atau tidak tentang masalah pinjol, beliaunya memang tau karena nomornya juga jadi sasaran DC."
Untung sudah tidak terlalu terkejut, meskipun perasaan Laila kembali berantakan karena benar ternyata Hanan tau.
"Aku aja juga kaget, tiba-tiba waktu itu ada nomor baru yang menghubungi, ternyata pak Hanan. Singkat cerita, kami bertemu dan beliau tanya tentang masalah kamu itu. Apakah benar kamu sedang terlilit utang. Lalu aku ceritakan semuanya, bahwa bukan kamu yang utang."
"Udah gitu aja?" tanya Laila menuntut, dia masih belum percaya bahwa hanya itu yang Pipin sembunyikan.
Pipin menghela napas, sepertinya sudah tidak bisa mengelak lagi. "Beliau yang mengarahkan aku agar bantu kamu membuka bimbel itu. Agar kamu punya penghasilan tapi tidak terlalu memeras tenaga dan tidak mengganggu kuliah. Awalnya beliau juga mau kasih uang untuk modal kamu jadi mitra bimbel, tapi aku tolak. Walaupun IPK ku pas-pasan, aku masih bisa mikir kalau nggak sepantasnya sampai kasih uang begitu karena bagaimanapun beliau sudah beristri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomanceAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...