Part 31 : Pertemuan (3)

1.8K 457 126
                                        

Secara kasat mata, ruangan dengan lebar 2x6 meter itu sudah dilengkapi dengan fentilasi udara yang memadai tapi semua orang yang ada di dalamnya akan setuju jika saat ini atmosfernya terasa panas. Bukan karena kurangnya fentilasi melainkan karena pertemuan kedua keluarga yang sempat disatukan oleh sebuah pernikahan, namun sekarang harus direnggangkan oleh sebuah perceraian.

"Berat sekali rasanya ya, kita harus berkumpul dalam keadaan seperti ini. Tapi apapun yang terjadi pada Hanan dan Naila, silaturahmi kita harus tetap terjalin. Saya mewakili keluarga sangat meminta maaf pada Naila dan keluarga, tentu banyak sekali salah kami selama Naila bersama kami."

Semua yang duduk di sana mendengarkan ucapan tulus dari abahnya Hanan. Berbagai macam ekspresi terlihat, semua mencoba legowo dengan kenyataan yang terjadi pada anak-anak mereka.

"Sama halnya dengan kami, tentunya kami juga tak luput dari kesalahan. Setelah berbulan-bulan berlalu sejak keputusan pisah mereka, kita semua mencoba berdiam diri untuk meredam segala macam emosi yang ada karena perceraian itu memang sangat melukai kita semua. Akhirnya sekarang kita berhasil mengalahkan emosi masing-masing untuk bisa berkumpul di sini, untuk itu mari manfaatkan kesempatan ini untuk saling memperbaiki hubungan. Meskipun tak lagi sama, tapi setidaknya kita coba mengikhlaskan dan menghilangkan yang buruk dari hati kita. mungkin perpisahan ini adalah jalan terbaik mereka. Semoga Allah mengampuni kita."

Lagi-lagi semua diam ketika gantian abahnya Naila yang memberikan responnya. Hanan sejak tiba di rumah Naila tadi, tak banyak yang dia katakan. Benar kata kakaknya, tak bisa terlihat arah tujuan hidupnya saat ini.

Di saat dua keluarga ini mencoba memperbaiki silaturahmi yang sempat terputus karena perceraian itu, baik Hanan maupun Naila tidak melakukan hal yang sama. Hanan lebih banyak diam, dan Naila lebih memilih masuk setelah hubungan dua keluarga itu mencair. Namun di satu kesempatan, mantan suami istri itu bisa berhadapan langsung ketika Hanan memutuskan untuk keluar dan Naila menghampirinya.

"Aku minta maaf, Mas, untuk segala kesalahan. Maafkan aku yang tidak bisa bertahan."

Hanan menanggapinya dengan tersenyum meskipun pandangan matanya kosong. "Aku yang lebih salah. Maaf tidak bisa sesuai dengan ekpektasimu."

Naila terdiam. Meskipun dia sendiri yang memilih untuk mengakhiri hubungan dengan pria di depannya itu, tapi dia juga ikut sakit hati.

"Kalau kamu masih terus bersikap seperti ini, aku yakin masalah serupa akan terjadi jika suatu hari nanti kamu menikah lagi."

Hanan tak menjawab untuk perkataan Naila itu. Sudah lama dia merenungkan segala hal yang terjadi dalam hidupnya, dan mendapat satu kesimpulan, bahwa memang dirinya tidak layak untuk jadi imam dan memimpin sebuah keluarga.

Melihat mantan suaminya yang hanya diam membuat Naila mendengus pelan. "Menikah itu apa sih, Mas, dalam pandangan kamu?"

Sekali lagi Naila mendengus karena tak mendapatkan jawaban apapun dari Hanan. "Oh iya, aku lupa, kita sudah pernah membahasnya bahkan berakhir dengan perdebatan panjang sampai akhirnya aku tau bahwa kamu bukan tipe orang yang bisa menjadi patner dalam sebuah rumah tangga. Maaf karena aku terlalu berekspektasi tinggi pada pernikahan kita dulu. Aku harap kita bisa sama-sama ikhlas dengan takdir ini agar tidak menjadi beban untuk hidup kita ke depannya."

Hanan hanya mengangguk sambil tersenyum agar Naila bisa tenang. Sejak perceraian itu, dia tidak pernah lagi banyak bicara. Sebelum tekad Naila bulat untuk menggugat cerai, Hanan sudah banyak bicara, banyak minta maaf dan banyak berusaha untuk mempertahankan pernikahan mereka. Tapi ketika melihat Naila yang banyak sedih ketika bersamanya, dan keinginan kuat wanita itu untuk bercerai, maka dengan berat hati, ia persilakan Naila memiilih kebahagiaanya sendiri.

Di Persimpangan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang