Perumpamaan Jawa yang mengatakan bahwa gadis pendiam akan ada masanya berubah menjadi induk ayam yang sedang bertelur. Awalnya pendiam, tapi akan berubah bising pada masanya. Apalagi jika sudah punya anak, berisiknya persis seperti induk ayam itu. Berkokok sepanjang waktu.
Agaknya itu juga terjadi pada Laila. Entah memang benar perumpamaan itu, atau memang dasarnya Laila banyak bicara namun dulu dia hanya belum berada di samping orang yang tepat.
Kia sampai harus geleng-geleng kepala karena sejak kedatangan adik iparnya tadi, dia tak berhenti mencurahkan banyak hal padanya. Mungkin sudah lama memendam, karena dulu hampir setiap hal diceritakan padanya.
"Mungkin nggak sih, La, kamu lagi ngidam?" tebak Kia.
Laila menggeleng sekaligus heran. Jika dirinya nampak lesu, pasti ditanya tentang kehamilan. "Nggak tau, Mbak. Nggak mau cek."
"Kenapa?" Alis Kia bertaut mendengarnya.
"Nanti aja kalau bapaknya udah siap, nggak kambuh-kambuhan lagi." jawab Laila seenaknya dan memancing Kia untuk menyenggol lengannya.
Laila memang sedang naik turun mood nya menghadapi Hanan. Dia sadar sesadar-sadarnya jika tidak baik sering berwajah masam di depan suaminya. Tapi kembali lagi, suaminya itu yang suka bikin gara-gara.
"Gus Hanan sakit?"
"Sakit batinnya." jawab Laila, seenaknya lagi.
Kia mendenguskan tawa gemas sambil meraup wajah adiknya itu. "Wudhu sana! Biar seger."
Laila menuruti perintahnya meski sambil terus mengoceh tentang kekesalannya pada Hanan. Kali ini suaranya lebih keras karena dia berada di kamar mandi, sedangkan Kia di kamarnya.
"Ya aku kan udah jelasin berkali-kali, Mbak. Aku itu nggak apa-apa tinggal di sana. Nggak apa-apa ikut kegiatan umi ke mana-mana. Pasti kan aku tau batas diriku, nggak akan maksa diri juga. Umi pun juga tidak pernah memaksa aku. Eh, malah mantan Mbak Kia itu kembali ngomong nggak mau membuat aku nggak nyaman di sana. Nggak nyaman apanya coba? Aku seneng-seneng aja di sana."
Yang pertama kali Kia respon adalah kata mantan yang jelas membuatnya protes keras. "Ngawur kamu, La!"
Laila yang sudah kembali dari kamar mandi, meringis karena berhasil mengerjai iparnya. "Maaf, Mbak. Kesel maksimal soalnya."
"Itu persis yang aku rasakan dulu, La. Masmu itu kan dulu juga lama banget menghilangkan rasa rendah dirinya. Sekarang aja kadang-kadang masih. Yang sabar aja!"
Merasa mendapat dukungan, Laila semakin menggebu-nggebu. "Nah iya kan, Mbak? Yang dibahas tiap hari hanya rasa takut nggak bisa bikin bahagia, nggak bisa bikin nyaman. Mereka pikir yang membuat kita bahagia itu apa, ya?"
Kia mengusap-usap punggung Laila. "Nggak usah gitu juga ceritanya! Nyembur kemana-mana."
Kemudian Laila tertawa dan meminta maaf. Tapi diakuinya, cerita dengan Kia bisa membuatnya lega dan akhirnya rasa kesal pada Hanan berkurang. Bahwa memang bukan hanya dia yang diuji dengan hal seperti itu. Kia pun sama. Seharusnya dia bisa mencontoh sabarnya Kia.
"Memang dia masih kepikiran banget sama masa lalunya, La?"
"Enggak sih, Mbak. Udah lega sepertinya karena apa yang ditakutkan selama ini nggak terjadi. Tapi ya itu, kalau aku ngapain, masih suka terlihat khawatir banget."
Kia menghela napas untuk mengisi kesabarannya. "Ya itu wajar, La. Nanti kalau dia cuek, nggak perhatian, salah lagi menurut kamu."
Kembali lagi Laila meringis. Benar juga kata kakak iparnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomanceAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...