Berada di semester akhir, bukan berarti perjuangan juga berakhir. Selain harus ekstra memeras otak untuk menyusun skripsinya, Laila juga harus membagi waktu untuk mengurus bimbel miliknya. Kecil memang, tapi Laila bersyukur, dari bimbel itu dia bisa berbagi manfaat untuk banyak anak-anak dan juga bisa mendapatkan penghasilan yang bisa dikatakan mencukupi kebutuhannya. Dan juga kebutuhan ibunya. Kadang-kadang juga kebutuhan orang-orang di rumahnya.
Sudah sejak sebulan yang lalu keluarga kakaknya—Nuri, pindah ke rumah yang ia tempati bersama ibunya. Untuk sebulan pertama ini, tidak ada yang Laila keluhkan karena mereka baik-baik saja. Nuri tetap bekerja seperti biasanya, dan Meri juga mengurus anak-anaknya. Justru Laila merasa senang karena ibunya tak lagi kesepian ketika ia harus pergi. Semoga saja tidak ada masalah yang terjadi di rumah itu gara-gara kepindahan keluarga Nuri.
Saat ini, anak-anak yang menjadi murid di bimbel kecil Laila sudah mencapai tiga puluhan anak. Cukup banyak dari yang dia kira sehingga sebisa mungkin dia mengatur jadwal agar anak-anak itu tetap diberikan pelajaran sesuai teknik yang ia dapat dari pelatihan di lembaga pusat. Laila membuka bimbel itu dari jam satu siang hingga delapan malam. Siang harinya ketika ia harus kuliah, bimbel diserahkan pada dua guru yang sudah ia rekrut dari tetangganya. Kemudian di malam hari dia bersama satu guru lagi yang juga tetangganya. Kadang-kadang juga Kia dengan senang hati datang untuk membantu.
"Anak-anak udah para tidur, Mbak?" Laila bertanya pada Meri ketika selesai membereskan ruang kelasnya setelah anak muridnya yang terakhir pulang.
"Nadifa udah masuk kamar sama ibuk, sejak di sini dia sukanya tidur sama ibuk. Kalau yang kecil juga udah tidur sama bapaknya."
Meri membantu Laila menyapu ruang kelasnya. "Mbak belum pernah minta maaf sama kamu, La." ucap Meri yang membuat Laila menoleh. "Maaf karena sudah sangat menyusahkan kamu."
Laila masih berdiri sambil menatap iparnya itu. Meriana terlihat masih belum sepenuhnya bisa menghilangkan beban-bebannya kemarin. Masih terlihat jelas juga rasa beratnya melepas rumah dan akhirnya harus tinggal di sini.
Akhirnya dia mendekati Meriana. "Sejujurnya aku memang pernah marah sekali sama mbak Meri dan mas Nuri meskipun hanya dalam hati. Aku hanya berani marah-marah sendiri dan menangis sendiri. Kemarin itu rasanya aku benar-benar ingin menghilang dari orang-orang yang aku kenal, Mbak."
Mendengar kejujuran adiknya, Meriana kembali berkaca-kaca. Entah menangisi apa, Laila belum bisa percaya seratus persen padanya.
"Tapi setelah berada di titik ini, aku bersyukur karena masalah itu bisa membuat aku lebih kuat. Yang penting mbak Meri dan mas Nuri benar-benar bisa berubah. Kalian sudah kehilangan rumah."
Merian maju untuk memeluk adiknya itu. "Maaf, La." ucapnya dan diangguki Laila. Dia menangis. Menumpahkan segala bebannya. Masih mencoba menerima takdirnya sekarang yang kembali tak punya rumah dan tak punya apa-apa.
☘️☘️☘️
Jika sebagian mahasiswa merasa berat ketika harus mulai mengerjakan tugas akhir, berbeda dengan Laila yang terlalu bersemangat. Di saat teman-temannya masih pusing mencari judul yang cocok dan diterima oleh dosen-dosen pembimbing, Laila sudah mulai mengerjakannya. Dia hanya perlu dua kali konsul ke dosen pembimbing sampai judul yang dia ajukan diterima. Dan di saat teman-temannya masih sibuk menyelesaikan tugas akhirnya, Laila sudah lebih dulu siap. Mungkin karena dia merasa tidak percaya bisa sampai ke semester terakhir ini, sehingga mengerjakannya dengan sebaik mungkin.
"Wisudanya harus barengan lho, Lai! Awas kamu duluan."
Laila terkekeh mendengar ancaman Pipin, yang entah sudah ke berapa kalinya. Kemudian dia buka laptop Pipin yang sejak tadi tertutup di depan pemiliknya. "Daripada sibuk ngancem, mending segera lanjutkan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomantikaAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...