Dengan segelas teh hangat di tangannya, Hanan mendekati Sang Abah yang duduk di tepi kolam ikan bersama Afnan. Untuk beberapa saat, Hanan hanya diam, mendengarkan percakapan serius antara adik dan abahnya.
"Nah itu Mas Hanan, Bah! Tanyakan langsung saja pada orangnya." Afnan mengalihkan perhatian abahnya ketika menyadari kehadiran Hanan.
Hanan duduk seraya menaruh semua perhatiannya, menunggu Sang Abah mengutarakan pertanyaan yang dimaksud Afnan. "Kenapa?"
"Besok sudah balik Ngawi?"
Lelaki berprofesi dosen itu mengangguk untuk menjawab pertanyaan abah Mukti.
"Abah kan mau dampingi umroh, agak mendadak ini, soalnya yang pesan rombongan pejabat. Kalau kamu nggak banyak agenda di kampus, Abah minta tolong pegang pondok dulu selama Abah pergi." terang Mukti.
Ini salah satu yang Hanan pikirkan. Abahnya sering pulang pergi umroh mendampingi jamaah yang berangkat lewat biro nya, dan ketika itu, Sang Abah pasti menunjuk dirinya untuk bertanggung jawab atas jalannya pondok, meskipun sudah ada ustadz dan ustadzah lain yang membantu. Lalu bagaimana bisa abahnya meminta dirinya untuk ke Aceh?
Hanan membuka mulut hendak menjawab namun suaranya kalah cepat oleh Afnan.
"Abah tenang saja, nanti Afnan bantu kalau Mas Hanan sedang tidak bisa meninggalkan kegiatan kampus." ujarnya.
Abah Mukti mengangguk. "Ya sama kamu juga, Af!"
Untuk kesekian kalinya, Hanan tak terlalu menunjukkan antusiasnya mengelola pondok. Dia berpikir, siapa saja yang perlahan menggantikan abahnya, baik dirinya ataupun Afnan, sama-sama akan mengemban tanggung jawab besar. Sama saja, yang terpenting pondok tetap bermanfaat.
Dan seperti yang sudah-sudah, adiknya yang lebih semangat membantu tugas abah mereka. Hanan lebih memilih memprioritaskan tugasnya sebagai dosen karena dia pikir, Afnan sudah lebih mumpuni daripada dirinya. Secara lahir batin, adiknya itu yang terlihat lebih siap.
Angan-angan Hanan tentang pesantren buyar ketika ada seorang anak kecil berambut keriting berlari ke arahnya. Gadis cilik yang belum genap dua tahun itu meminta Hanan untuk menyebar pakan ikan ke kolam agar ikan-ikan nya ke permukaan.
"Ikannya udah kenyang, Nduk! Nanti lagi ya?" Bukannya menuruti permintaan gadis kecil itu, Hanan malah mematahkan semangatnya dengan menolak.
Gadis kecil itu tetap merengek membuat Hanan bingung sendiri. "Lah, malah nangis. Ya sudah, Om gendong aja!"
Bertambah nangis. Itulah yang terjadi, dan Hanan semakin bingung dibuatnya. Nihal —ibunda Sang Gadis Cilik, tertawa lepas melihat adiknya itu kebingungan menghadapi rewelnya Si anak. Abah dan Afnan ikut menertawakan Hanan yang benar-benar kaku ketika menghadapi anak-anak.
"Sepertinya bisa luwes kalau punya anak sendiri, deh, Om!" ujar Nihal sambil mendekat mengambil alih anaknya.
"Setuju!" imbuh Afnan. "Mbak Nihal udah dua, aku udah tinggal nunggu istri lahiran. Tinggal jenengan lho, Mas!"
Hanan kembali memaksa tawanya ketika diledek oleh kedua saudaranya ini. Kalau saja mereka tau, saat ini dia sedang dalam tahap penyembuhan hati sebelum memutuskan untuk kembali merangkai harapan berumah tangga.
"Jodoh sudah ada waktunya masing-masing. Sudah, jangan pada meledek Hanan!" Abah Mukti menengahi ketiga anaknya.
Hanan harus bersyukur, ditengah gelombang ledekan dari kakak dan adiknya, atau kadang-kadang Sang Umi juga ikut memojokkannya, masih ada abahnya yang selalu terdepan membela.
"wis to, le! Pasrah ke Umi, nanti Umi yang carikan." Tiba-tiba wanita yang melahirkannya ke dunia itu ikut nimbrung acara keluarga pagi itu di tepi kolam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Takdir
RomantikAda yang patah tapi bukan ranting. Bukan juga tulang kering. Tapi hati, karena harapan yang terbanting. Harapan yang sudah disusun setinggi mungkin harus runtuh oleh kenyataan di saat seseorang yang diharapkan tak datang untuk menyambut. Bahkan hing...