Seperti yang dibicarakan siang tadi saat di kantin, sore ini ketiga pemuda satu generasi itu berangkat menuju cafe bang Harsa untuk melakukan hobi mereka nge-band setelah sekian lama.
Sebelum berangkat, Samu ijin pulang telat kepada bunda agar wanita cantik itu tidak khawatir. Tak lupa, Samu juga mengabari pak Edi supaya dirinya dijemput di cafe saja.
Samu, Argi juga Januar berangkat menggunakan mobil yang dikendarai Januar, mengingat hanya dia yang sudah mendapat lampu hijau untuk menyetir kendaraan roda empat tersebut.
Kendaraan mereka terparkir dengan apik di parkiran yang sudah disediakan untuk para pengunjung. Cafe milik Harsa lumayan luas dengan nuansa modern semi outdoor.
Terlihat dari luar mungkin sempit, namun dalamnya terasa luas dengan kursi yang terbuat dari kayu mengelilingi meja bundar senada berlapis kaca.
Ketiga pemuda itu langsung masuk dan disambut dengan suara lonceng kecil yang menggantung diatas pintu masuk. Langsung saja, ketiganya menghampiri sang pemilik cafe yang berada dibalik meja bar.
Harsa yang melihat kedatangan mereka langsung menyambut dengan senyuman khasnya. "Wii, dateng juga pangeran cafe gue. Gimana nih, udah lama banget kalian gak dateng." Sapa Harsa.
Satu persatu dari mereka menjabat tangan Harsa melepas rindu. Setelahnya, mereka banyak berbincang mengenai mengapa mereka jarang datang bersama, juga tidak pernah mengisi panggung cafe Harsa.
Obrolan mereka mengalir begitu saja sampai tak terasa, sang bagaskara mulai tergantikan oleh sang purnama diluar sana. Membuat mega terlihat kian sirna dari pandangan. Hari mulai gelap, pengunjung pun datang dan pergi silih berganti.
"Mau tampil sekarang?" Tawar Harsa dengan tangan yang menunjuk ke arah panggung kecil dibagian depan cafe dimana peralatan band telah disediakan.
Samu, Argi dan Januar mengangguk yakin dan berdiri dari duduknya menuju panggung kecil didepan sana. Samu memainkan drum, Januar dengan bass-nya dan Argi memegang keyboard.
Setelah memutuskan lagu apa yang akan ditampilkan, dengan aba-aba dari Samu, ketiganya langsung memainkan alat musik masing-masing. Secara perlahan, alunan musik mulai terdengar seantero cafe dan membuat atensi para pengunjung tertuju pada penampilan mereka.
Setelah satu lagu rampung, mereka memainkan lagu selanjutnya. Lagu yang mereka mainkan terus berlanjut hingga tak terasa, malam semakin larut.
Para pengunjung juga sudah mulai berkurang karna jam tutup cafe sebentar lagi. Ketiganya menyelesaikan penampilan kali ini dengan lagu yang lebih mendayu untuk mendukung suasana malam.
Suara tepuk tangan terdengar dari arah meja bar, yang tak lain pelakunya adalah Harsa. "Bravo! Tadi itu keren banget asli. Gue jadi terhibur." Harsa mendekati panggung sambil bertepuk tangan bangga.
"Ah, biasa aja bang heheh" Argi terkekeh malu-malu kala dirinya—yang sudah lama tak dipuji orang lain mengenai bakatnya memainkan alat musik—dipuji seperti itu oleh Harsa. Januar tersenyum dengan bangga dan menaik-turunkan alisnya dengan sombong.
"Berarti bayarannya bisa dilebihin dong bang." Samu tersenyum menggoda Harsa dengan mengungkit bayaran mereka. "Bisa diatur. Tenang aja"
Karna malam sudah larut, dan besok pun mereka masih harus berangkat sekolah, tiga siswa tahun terakhir itu pun berpamitan dengan sang pemilik cafe. Samu menelepon pak Edi menanyakan apakah beliau bisa menjemputnya di cafe atau tidak.
"Nih bayaran kalian. Jangan kapok ya manggung disini." Harsa memberikan sebuah amplop berisi uang sebagai upah penampilan mereka hari ini. Amplop itu diterima oleh Argi sebagai perwakilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...