"Sean, bangun nak. Nanti kesiangan kamu ditinggal abang" lantang seorang perempuan yang sedang sibuk dengan kegiatannya didapur. Terlihat tetap cantik dengan apron yang melilit tubuh mungilnya yang terbalut dress tidur.
Disisi lain, pemuda yang disebut 'Sean' tadi masih dengan posisi semula-bergelut dibalik selimut yang berwarna senada dengan sprei kasur. Lain halnya dengan sang kakak yang sudah terlihat rapi dengan setelan seragam yang membuatnya terlihat gagah.
"Pagi bun, Sean belum bangun?" tanyanya sembari mendaratkan bokongnya disalah satu kursi pantry sambil memperhatikan bundanya menyiapkan sarapan. "Iya, kamu tolong bangunin ya bang. Nanti kesiangan"
Yang lebih muda langsung beranjak menuju kamar sang adik. Terlihat Sean yang sudah terduduk dengan mata yang masih terpejam setengah sadar. Pipi dan mulutnya yang terlihat tumpah membuat siapa saja ingin sekali mencubiti pipinya. "Dek, bangun. Udah siang ini, nanti telat"
Tak lama Sean langsung mengumpulkan sisa nyawanya dan bergegas menuju kamar mandi. "Hhmm, ini Sean bangun kok. Beneran deh"
Setelah memastikan sang adik benar-benar menuju kamar mandi, yang lebih tua akhirnya keluar kembali dari kamar itu dan melanjutkan acara menunggu sarapannya yang sempat ter-pending tadi.
"Bang, tolong bantuin taro di meja makan ya. Bunda mau liat ayah dulu" wanita tersebut terlihat tengah melepas apron yang menemaninya membuat sarapan itu.
Samu-si abang yang sedari tadi disuruh bunda, terlihat menatap lurus tak tentu arah dengan pandangan yang terlihat kosong-melamun-sebelum melakukan apa yang disuruh kepadanya. Bermenit menit ia habiskan hanya untuk melamun. Ia baru tersadar ketika seseorang menepuk pundaknya dan bersuara.
"Si abang kebiasaan banget, nge-bug setiap pagi. Itu bunda nyuruh mindahin makanan ke meja makan."
Samu terlihat sedikit terperanjat ketika suara Sean tiba-tiba memenuhi seisi pantry. "Eh, iya. Apaan tadi?" nah, kan. Biasa, masih pagi jadi otak Samu masih roaming. "Itu loh bang, pindahin makanan ke meja makan. Ish, punya abang otaknya lemot banget heran"
Oknum yang disindir tidak mengindahkan perkataan adiknya tersebut. Ia langsung saja mengikuti sang adik yang mulai mengangkuti makanan ke meja makan.
"Kamu udah selesai mandi? Cepet banget" Samu bertanya keheranan kepada sang adik. Perasaan baru beberapa menit yang lalu ia bangunkan, masa sekarang sudah rapi mengenakan seragamnya.
"Cepet salah, lama juga salah. Aku bukan Raisa bang."
Samu mengangkat bahu mendengar jawaban Sean. Biarlah, toh Sean mandi ataupun tidak itu bukan urusannya. Paling, jika tercium aroma aroma menggelitik hidung sudah dapat dipastikan itu berasal dari Sean.
Selang beberapa menit, setelah Samu dan Sean selesai mengangkut makanan, bunda kembali dari arah ruang tengah bersama dengan sang suami yang terlihat masih mengenakan setelan tidurnya.
"Bund, kopinya satu ya." Pintanya sembari duduk dikursi yang biasa ia duduki.
Dengan tatapan malas bunda menjawab, "Siap tuan, pembayaran bisa dikasir yaa." Sekedar informasi, bunda dulu pernah bekerja paruh waktu sebagai barista disalah satu cafe didaerah kota Bandung. Tak heran suaminya itu berlaga seperti sedang di cafe.
Tak membutuhkan waktu lama, bunda membawa secangkir kopi dengan asap yang masih mengepul diatasnya "Atas nama Arjuna, kopi hitam spesial dengan cinta".
Sepertinya mereka berdua lupa, bahwa mereka tengah dihadapkan oleh tatapan yang tidak dapat diartikan dari kedua putra mereka. Sedangkan sang pemilik pesanan-ayah mereka-malah merona, terlihat dari semburat merah muda yang tercetak jelas dikedua sisi pipinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
Fiksi PenggemarSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...