26. Getting worse

450 60 15
                                    

Mengingat kejadian tadi pagi, Samu juga kedua adiknya itu sudah bisa dipastikan terlambat masuk sekolah. Namun, dengan kepiawaian Sean bercerita—dengan nada lirih—betapa sedih dan malangnya mereka dipagi hari tanpa bantuan bunda, penjaga sekolah yang sudah menutup pagar besar sekolah pun mengijinkan mereka untuk masuk dengan catatan harus meminta ijin ke bagian tata usaha.

Syarat yang tak seberapa itu tentu saja mereka lakukan demi dapat mengikuti kelas tanpa hambatan hukuman. Beruntungnya juga, guru-guru yang mengetahui kabar duka perihal berpulangnya salah satu orang tua mereka tidak memperpanjang masalah terlambatnya Samu bersaudara dan mempersilakan ketiganya untuk masuk kelas.

Seperti biasa, Samu dan kedua adiknya berpisah diambang tangga yang memisahkan gedung beda jurusan tujuan masing-masing. Tanpa basa basi, Samu menaiki tangga menuju kelasnya dilantai tiga.

Semacam sudah menjadi kebiasaan, dikursinya sudah ada Argi dan Januar yang mengisi. Samu melangkah masuk tanpa interupsi yang membuat kedua teman sebayanya itu sedikit terheran.

"Lo udah masuk aja Sam." Saut Argi menyingkir dari kursi Samu dan berdiri disampingnya. Tatapan Argi dan Januar yang terang-terangan mereka lontarkan pada Samu membuat yang ditatap merasa risih.

Samu menatap Agi dan Januar bergantian. "Kalian kaya baru pertama kali aja liat orang ganteng. Biasa aja kali." Ucap Samu mencairkan suasana. Ia tau, tatapan keduanya menyiratkan rasa iba. Samu tidak terbiasa ditatap seperti itu.

"Bisa bisanya lo masih ngelawak ye." Januar tidak paham lagi bagaimana pemikiran Samu. Padahal, ia dan Argi sedang mengkhawatirkan sang sahabat. Yang dikhawatirkan malah masih sempat bergurau.

"Ya lagian kalian kenapa deh, ngeliat gue segitunya banget. Gue ganteng? Dari dulu kali." Senyuman dan mata naik turun yang menyebalkan Samu layangkan kepada keduanya. Meski sedang bersedih, tapi tingkat percaya diri Samu tidak pernah luntur. Jangankan luntur, menurun saja tidak.

Argi yang semula berdiri disamping Samu pindah dan duduk ditempatnya, tepat ke belakang Samu. Sedangkan Januar yang sudah muak mendengar kata-kata Samu, membenarkan posisi duduknya menghadap papan tulis.

"Lo udah bisa bercanda berarti baik-baik aja." Januar menghela napas beratnya dan memfokuskan pandangan pada gawai yang sekarang berada dalam genggamannya. "Emang gue harus gitu, masuk kelas nangis-nangis terus kayang depan kalian. Kan gak mungkin." Samu mengerti maksud dari 'baik-baik saja' yang diucap Januar adalah perasaannya.

Dari belakang, Argi menimpali, "ide bagus tuh Sam. Coba lo keluar dulu. Abis itu masuknya nangis-nangis sambil kayang. Nanti gue sama Janur ikutan."

"Ikutan kayang sambil nangis?" tanya Samu.

"Ikutan ruqyah lo ke pak ustadz!" teriak Januar yang sudah kehilangan kesabaran. Setelahnya Januar pergi keluar kelas entah kemana. Namun melihat Januar keluar, Argi mengekor dibelakangnya meninggalkan Samu seorang diri.

"Kalian mau kemana? Bentar lagi kan bel masuk?!" Samu harus sedikit menaikan nada bicaranya karna yang ditanya sudah menghilang dari ambang pintu. Selang beberapa sekon kemudian, barulah Samu memiliki niat untuk menyusul keduanya keluar kelas.

Untungnya, Argi dan Januar belum pergi terlalu jauh. Keduanya masih tampak berjalan kearah tangga sebelah timur. "Heh! Tungguin gue dong!" Samu sedikit berlari untuk menyamakan langkah dengan dua sohibnya.

"Heh, kok kalian malah keluar kelas sih. Bentar lagi bel." Baru saja Januar ingin buka suara untuk menjalaskan, Samu kembali berceletuk, "Lo juga Gi, gak biasanya mau diajak bolos sama kita." Seketika, Januar menghentikan langkahnya.

Melihat Januar yang sudah tampak kehilangan kesabaran, Argi mengusap pundak Januar mengisyaratkan untuk sabar. "Sabar Jan, temen lo satu itu emang suka lemot kalo masih pagi. Sabar, sabar."

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang