12. Jadi Saudara yang Baik

511 58 16
                                    

Maag . Itulah yang dokter katakan setelah memeriksa Sean beberapa waktu lalu. Juna juga Shania yang diberi tau bahwa Sean sakit, langsung memasuki kamar dimana anak kesayangan mereka itu berada.

Saat melihat kondisi Sean yang telah hilang kesadaran, Juna dengan sigap memangku tubuh ringkih anaknya dan langsung membawanya ke UGD terdekat. Otak cerdasnya tak bisa diajak berpikir jernih jika dihadapkan dengan situasi seperti tadi.

Bahkan, sekarang hanya ada dirinya juga Shania yang dengan cepat masuk mobil mengikuti langkah suaminya—meninggalkan kedua pemuda tak sedarah itu di rumah.

Juna terlihat termenung diujung ranjang pesakitan yang ditempati Sean, sedangkan Shania mengelus kepala Sean dengan sayang. Dirinya tak kalah kalut melihat Sean tak sadarkan diri. 

Dengan sisa kewarasannya, kaki jenjangnya itu ia bawa mengikuti kemana langkah sang pujaan hati membawa sang buah hati.

Sepanjang perjalanan pun dirinya tak henti-hentinya merapalkan doa dan berusaha mengembalikan kesadaran Sean. Kejadian itu terjadi begitu cepat, hingga Juna maupun Shania tak ingat apa yang telah terjadi.

Terhempas oleh lamunan, keduanya tak menyadari bahwa jemari lentik Sean bergerak perlahan. Detik selanjutnya, mata menyerupai rubah itu perlahan membuka lalu mengerjap saat pemandangannya berwarna putih terang.

"Eunghh" ringis Sean saat dirasa perutnya masih sedikit sakit. Karna mendengar suara yang berasal dari Sean, lamunan Juna terhenti dan beralih memandang Sean. Shania juga langsung mengambil tangan Sean yang terbebas dari jarum infus lalu mengelusnya pelan.

"Masih sakit dek? Apa yang sakit?" Shania berkata dengan lembut. Sean sendiri belum bisa menjawab pertanyaan bunda karna tenggorokannya terasa kering. "Minum." hanya itu yang bisa Sean katakan.

Shania dengan cekatan memberi sebotol air mineral yang disediakan diatas nakas samping ranjang kepada Sean. Tak lupa, sebelum memberikannya pada Sean, Shania memasukkan sedotan agar memudahkan Sean meminumnya.

Juna berpindah tempat menjadi duduk berhadapan dengan Shania. Kini, disisi kanan Sean ada Juna, lalu sisi kirinya Shania. Pasangan suami istri itu tak melepaskan pandangan dari si bungsu. Seakan jika lengah sedikitpun mereka akan kehilangan Sean dalam sekejap.

"Kamu telat makan? Atau kamu jajan yang aneh-aneh di kantin sekolah? Kok bisa sakit gini sih nak." gantian, kini Juna yang melontarkan pertanyaan. Setelah selesai menghabiskan seperempat air dalam botol yang diberi bundanya, Sean berdeham.

"Engga kok yah, Sean gak jajan yang macem-macem." suaranya masih terdengar parau bahkan setelah minum dan berdeham. "Itu perutnya kenapa ada lebam gitu? Sakitnya dari situ kan dek" Hal yang kadang membuat Sean jengkel adalah ketika bundanya itu menanyakan pertanyaan yang jawabannya tak bisa Sean sampaikan apa adanya. 

Seperti sekarang, mana mungkin Sean menjawab bahwa dirinya habis dipukul. Sebab itu, jangan salahkan Sean jika ia banyak berbohong. Ini demi kebaikan semua—pikirnya.

"Aah, ituu. Kepentok meja bun, Sean gak hati-hati waktu duduk dikursi kantin. Heheheh" Sean terkekeh menampilkan senyum canggungnya. Setelahnya, Sean mengusap perutnya yang masih terasa tidak nyaman.

Pergerakan Sean tentu diperhatikan oleh kedua orang tuanya. "Gak enak ya perut nya? Mulai sekarang kamu gak boleh makan yang aneh-aneh, sekalinya sakit nanti kalo kejadian lagi kan gak enak. Lebih baik dicegah selagi bisa."

Mana ada seorang ibu didunia ini yang akan tahan tak menasihati anaknya yang sakit karna kelalaiannya sendiri. Bunda pun sama. Seperti ibu pada umumnya, bunda akan menasihati anak-anaknya jika itu mengenai kebaikan kedua putranya.

Shania ikut mengusap perut Sean dengan perlahan, berharap rasa tak nyaman itu dapat terhempas karna usapannya. "Iya bun, Sean kan gak makan yang aneh-aneh. Gak telat makan juga lagian, kenapa bisa maag coba." Bibirnya dengan alami mengerucut membentuk sedikit lekungan dibawah bibirnya terlihat jelas.

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang