Sean lupa, apa yang telah dilakukannya sehingga Angga begitu membencinya sampai-sampai berani bermain fisik. Seingatnya, ia tidak pernah melakukan hal salah yang melibatkan anak itu. Namun entah mengapa Angga senang sekali merundungnya.
Sean juga lupa, kapan tepatnya Angga mulai merundungnya. Yang Sean ingat, saat itu sedang jam istirahat dan dirinya juga Ren duduk disalah satu bangku kantin sambil menyantap makanan masing-masing. Sampai saat Sean pamit ke kamar mandi, Angga mengikutinya dan mulai mengatakan hal-hal yang Sean pun tidak paham.
Karna tidak ingin memperpanjang masalah, Sean melupakan kejadian itu seakan tidak pernah terjadi. Sean berusaha acuh setiap kali berpapasan dengan Angga dikoridor. Siapa sangka Angga malah semakin sering merundungnya setiap ada kesempatan.
Sejak saat itu pula, setiap Sean merasa tertekan, perut Sean pasti akan terasa sakit. Seperti sekarang, dirinya sesekali meringkuk disamping Gara dalam mobil yang dikendarai pak Edi. Saat bel pulang berbunyi tadi, Sean bergegas turun dan mencari mobil jemputannya tanpa menunggu Gara juga Samu.
"Se, gapapa?" ucap Gara yang melihat gelagat tak biasa orang disampingnya. Dari tadi Sean bergerak gelisah sembari mengelus perutnya. Gara tentu tidak bisa diam saja. Mendengar nada khawatir Gara membuat Samu menoleh kearah Sean yang kebetulan duduk dibelakang pak Edi.
"Kenapa?" Gara sudah duduk mendekat dan melihat keadaan Sean. Semuanya terlihat baik-baik saja, hanya wajahnya memang terlihat sedikit pucat. "Gapapa, cuma sakit perut. Pak, boleh lebih cepet sedikit gak? Aku kebelet, heheh" Samu yang sedang memperhatikan pun menghela napas dan kembali keposisi semula.
Begitu juga Gara yang dapat merasa lega karna Sean hanya mengeluh sakit perut. "Kirain kenapa. Tahan sebentar, jangan dilepasin disini." Gara kembali menjauh dari Sean hingga tak ada celah lagi antara Gara dan pintu mobil.
Sesampainya dirumah, Sean lekas turun dan berlari menuju pintu utama agar kebohongannya tak tercium kedua saudaranya. Sean tau, Samu dan Gara pasti mengira dirinya kebelet. Maka dari itu, untuk mempermulus rencana Sean berlari sekencang mungkin untuk cepat sampai kamarnya.
"Beneran gak bisa ditahan lagi kayanya. Sampe lari kenceng gitu." Samu terkekeh karna menurutnya Sean lucu. Lalu Samu dan Gara ikut melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah menyusul Sean.
Keduanya kompak menaiki tangga karna kamar mereka berdampingan. Meski perabot yang ada dikamar Gara belum selengkap kamar Samu dan Sean, setidaknya Gara tidak akan merecok kamar Sean lagi dibawah.
***
"Makan yang bener, nanti sakit perut lagi."
Kini seluruh anggota keluarga sudah duduk dengan manis dimeja makan untuk makan malam bersama. Tak ada masalah dengan menu yang disediakan bi Ina, tetapi Sean tampak hanya memakan sedikit dari yang sudah diambilnya. Dan tentu itu membuat Samu geram mengingat tadi Sean mengeluh sakit perut.
"Iya, iya." Sean hanya bisa menjawab seadanya karna tak mau memperpanjang masalah. "Makannya yang banyak loh nak. Nanti sakit lagi, gak mau 'kan masuk rumah sakit lagi." Kali ini Juna yang menambahkan, mengingat Shania masih dalam suasana hati yang buruk perkara tadi pagi.
"Iyaa ayah. Ini juga Sean lagi makan." Bicaranya saja yang seperti dilaksanakan. Padahal makanan dihadapannya hanya berkurang sedikit setelah hampir 15 menit makan malam berlangsung. Samu dan Gara saja sudah hampir habis. "Makan apanya, makan angin. Dari tadi nasinya segitu-segitu aja kok."
Karna tak tahan menahan suara, akhirnya Shania menanggapi. Ia berkata sambil menatap wajah putra—yang masih menganggap dirinya—bungsu itu. Namun Sean tak menanggapi. Malah wajahnya tampak kesal saat disindir bundanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...