18. New School

369 47 19
                                    

Sudah seminggu berlalu sejak mereka malaksanakan staycation pertama bersama Gara. Itu tandanya, hari ini Gara sudah mulai bersekolah di tempat yang sama dengan Samu dan Sean.

Membayangkan betapa menyenangkannya bisa bersekolah disekolah yang sama dengan kakak-kakaknya, membuat Gara tak bisa melunturkan senyumnya barang sebentar.

"Seneng banget yang mau berangkat sekolah bareng." Samu yang tak sengaja berpapasan dengan Gara ditangga pun menyindir Gara yang terlihat bahagia pagi itu. Selama mereka tinggal rumah mereka diakhir pekan lalu, ada tukang yang dipesan Juna untuk membangun kamar untuk Gara disebelah kamar Samu.

"Jangan ngobrol ditangga, bahaya. Turun turun." Shania yang melihat Samu dan Gara berada dianak tangga menitah keduanya untuk segera turun. Tak lupa, ia mengetuk pintu kamar Sean yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tanpa aba-aba, Shania memasuki kamar Sean yang memang tak pernah dikunci. Betapa terkejutnya Shania saat mendapati Sean yang kewalahan mengatur napasnya dipinggir ranjang tidurnya. "Sean!"

Melihat Shania panik, tentu Samu dan Gara ikut bergegas memasuki kamar yang pintunya sudah terbelalak itu. Shania membantu Sean menggunakan inhalernya dan memberikan kalimat penenang untuk Sean.

"Sean, jangan gini nak. Napas pelan-pelan. Gak usah buru-buru. Gapapa, ayo coba lagi." Sean menggelengkan kepalanya saat udara disekitar terasa enggan memasuki jalan napasnya.

Sean sering kali panik saat merasa sesak sudah mendaulat paru-parunya. Membuat oksigen seakan tak mau membiarkan dirinya masuk melalui hidung maupun mulut Sean.

Samu tak kehilangan akal, ia menegakkan duduk Sean dan ikut membantu Sean menghirup obat dalam inhalernya. "Se, gak usah panik. Duduknya yang tegak, denger kata-kata abang." Tangannya terulur mengusap dada Sean berharap dapat meringankan sesak yang adiknya rasakan.

Sean meremas lutut kakaknya yang dijadikan sandaran sebagai pelampiasan. Sean berhasil menghirup 3 dosis salbutamol untuk meredakan serangan asmanya. Berangsur-angsur, tubuh Sean meluruh karna lemas.

Padahal, tadinya Sean sudah siap dengan seragam yang membalut tubuhnya. Hanya tinggal memakai dasi dan kaos kaki, Sean sudah siap untuk sarapan bersama.

Namun, sesak itu tiba-tiba datang tanpa permisi mengalihkan fokusnya yang sedang mengikat dasi dilehernya.

"Udah enakan?" tanya Shania saat melihat napas Sean sudah lebih baik meski memang terlihat masih berat. Gara yang tidak mengerti apa-apa tak berani bertanya. Ia belum dapat memasang seluruh potongan puzzle yang berantakan dalam pikirannya.

Jadi ia hanya bisa melihat dari kejauhan tanpa bisa berbuat apa-apa. "Euung-hhh, ud-aahh hhh." Tubuhnya ia biarkan bersandar pada dada bidang sang kakak sebelum kembali bangkit. Berdiri saja terlihat lunglai, apalagi tubuhnya dibawa untuk berjalan.

Rasanya, tenaganya habis hanya untuk berdiri. "Gak usah sekolah dulu ya hari ini. Istirahat aja dulu." Shania menatap Sean dan mengelus pelan surai legam anaknya. Sean menjawab dengan gelengan, "engga bun, Sean gapapa kok. Tadi Sean Cuma panik aja, makanya susah pake inhalernya."

Kini, semua orang sudah berkumpul di meja makan termasuk Juna yang juga sudah siap dengan setelannya. "Kenapa sih, mukanya pada ditekuk gitu?" Juna yang menyadari atmosfer disekitarnya terasa berbeda akhirnya bertanya.

"Biasa. Tetep aja ngotot mau sekolah." Samu yang menjawab karna Gara tidak tau harus menjawab apa, sedangkan Shania diam seribu bahasa. Juna tentu tau maksud dari perkataan anak sulungnya karna ini bukan pertama kalinya terjadi.

Juna menatap manusia yang dibicarakan dan Sean sendiri terlihat pucat dengan pundak yang terlihat masih naik turun dengan jelas. "Beneran gapapa dek? Mukanya kaya vampire gitu, pucet."

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang