Samu harap-harap cemas dengan kondisi Sean sekarang. Separah parahnya Sean kambuh, Sean belum pernah hingga pingsan. Ya, paling parah hanya 'hampir' pingsan. Itu yang membuat Samu khawatir dengan kondisi Sean sekarang.
Kendaraan roda empat yang mereka tumpangi itu pun berhenti didepan garasi. Dengan tergesa, Samu—dibantu pak Edi—membopong tubuh Sean masuk kekamarnya.
Samu menyiapkan nebulizer dengan telaten dan memasangkan oxygen mask pada wajah bulat Sean. Samu memang sudah biasa membantu Sean menggunakan alat itu. Bisa dikatakan dirinya kini mahir menggunakannya.
"Pak, tolong kabarin bunda sama ayah ya. Biar Samu kabarin dokter Dimas supaya kerumah." Titah Samu sembari mengeluarkan gawainya. "Baik mas."
Nada dering terdengar jelas ditelinga Samu. Berharap dokter akan segera mengangkat dan bisa datang secepatnya. Dilihatnya Sean yang menghembuskan napas berat, terlihat dari kepulan uap yang berasal dari nebulizer.
"Halo dok, dokter bisa kerumah sekarang gak? Sean kambuh, terus dia pingsan. Sekarang udah aku kasih nebu tapi belum sadar. Tolong ya dok." Samu merasa jadi rapper sekarang. Bagaimana lagi, ia harus menjelaskan keadaannya secepat mungkin.
"Oke, kamu tunggu sebentar ya. Dokter langsung berangkat."
Samu mengangguk dan langsung mematikan telponnya kendati dokter Dimas tak bisa melihatnya. "Mas, ibu sama bapak sudah saya kabari. Mereka pulang sekarang mas" pak Edi langsung mengabari kalau tuan dan nyonya rumahnya akan segera pulang.
Terdengar juga nada khawatir saat ia telpon majikannya tadi. Keduanya memberikan reaksi yang sama—terkejut. "Saya parkirin mobil dulu ya mas, permisi." Samu hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala karna pikirannya sekarang hanya terfokus pada Sean.
Sekarang, Samu hanya perlu menunggu ayah, bunda dan dokter tiba dirumah. Digenggamnya tangan Sean dan tanpa sadar, air mata itu kembali terjun bebas dari mata hazel Samu.
***
Setelah insiden pulang sekolah tadi sore, Sean masih terbaring lemas diatas ranjang tidurnya dengan mata yang setia memejam juga oxigen mask yang menghiasi wajahnya. Disekitarnya, ayah, bunda dan Samu juga menunggu netra indah si bungsu terbuka.
Bunda yang duduk tepat disamping ranjang Sean menggenggam erat tangan putra keduanya. Bunda langsung pergi dari butiknya kala mendapat kabar dari pak Edi. Dunianya seakan runtuh saat mendengar Sean kambuh dan pingsan diperjalanan pulang sore tadi.
"Jangan sakit lagi ya nak, bunda ga bisa liat kamu sakit kaya gini." Setelah berucap, bunda menundukkan kepalanya dan mengeratkan genggaman tangannya.
Entah sudah berapa lama mereka berada dikamar bernuansa cerah ini hanya untuk menunggu Sean bangun dari tidurnya.
Samu duduk ujung tempat tidur Sean sambil sesekali memijat kaki adiknya, sedangkan sang kepala keluarga duduk dimeja belajar Sean didepan ranjang Sean.
Biasanya Sean tidak akan tertidur selama ini. Biasanya Sean akan mulai membaik setelah menggunakan nebulizer. Itu yang membuat satu keluarga Arjuna merasa khawatir dengan keadaan Sean. Padahal, dokter Dimas yang memeriksa Sean tadi berkata bahwa Sean hanya perlu istirahat.
Setelah penantian panjang, dengan perlahan Sean mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam retinanya. "B-bunda," terdengar suara rintihan dibalik oxygen mask yang digunakan Sean. Bunda yang berada paling dekat dengan Sean pun lekas menegakkan tubuhnya dan mengusap kepala Sean perlahan.
"Sean, kamu bangun juga. Ada apa nak? Dadanya gak nyaman? Masih sesak?" tanya bunda yang masih terlihat khawatir. Samu juga ayah langsung menghampiri ranjang untuk melihat keadaan Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
Fiksi PenggemarSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...