"Sean kemana?"
Seperti biasa, pagi ini keluarga Juna sudah berkumpul di meja makan sebelum satu persatu dari mereka melakukan aktifitasnya. Kursi samping Samu yang biasa diduduki oleh bungsu Shania itu terlihat kosong saat semuanya sudah duduk rapi ditempatnya masing-masing.
"Seragam yang kemarin digantung juga gak ada. Kayanya Sean udah berangkat duluan deh." Gara memeriksa kamar Sean mencarinya disetiap sudut rumah siapa tau menemukan jejak kakak beberapa bulannya itu. Namun nihil, Sean tidak ada dimana mana di rumah itu.
Setelah ditelaah lebih teliti, tas, sepatu juga seragam yang biasa menggantung dibalik pintu kamar Sean juga tidak ada. Perkiraannya adalah Sean sudah berangkat ke sekolah. Kemana lagi ia akan pergi jika bukan ke sekolah. "Berangkat jam berapa dia? Sama siapa sepagi itu?"
Dua manusia beda generasi yang juga sudah duduk manis dikursi itu hanya diam tak berniat menjawab. Samu juga Shania kompak bungkam seakan tak peduli kemana Sean pergi. Padahal, biasanya mereka lah yang paling sibuk jika berurusan dengan Sean.
Juna dan Gara yang melihat keduanya hanya terdiam tidak ingin menghancurkan suasana. Maka dari itu, pembicaraan mengenai perginya Sean hanya berakhir sampai mereka berasumsi bahwa Sean sudah pergi.
Gara yang semula berdiri langsung duduk ditempat Sean biasa duduk dan pandangannya langsung menuju kepada Shania yang berhadapan dengannya. Raut wajah itu terlihat tak seperti biasanya. "Bunda sakit?"
Riasan diwajahnya hanya menutupi wajah pucatnya saja. Selebihnya, Shania terlihat lunglai dan tidak bersemangat. "Engga, bunda cuma pusing aja. Kerjaan di butik lagi banyak banget."
Juna yang duduk disampingnya mengusap punggung sang istri dan berucap, "Jangan terlalu capek, kamu libur dulu aja hari ini. Istirahat ya." Juna tau, akhir-akhir ini Shania terlihat memikirkan banyak hal dan membuatnya lebih sering melamun didepan meja riasnya pada malam hari.
Kebiasaan Shania jika ada yang mengganggu pikirannya. "Aku gapapa kok mas. Kalo aku libur malah kerjaannya gak selesai nanti." Buah jatuh tak jauh dari pohonnya memang. Sifat keras kepala Sean mungkin diturunkan dari sifat keras kepala kedua orang tuanya juga.
Waktu dalam atmosfir ruang makan tersebut entah mengapa terasa melambat. Tidak ada obrolan yang biasanya mengalir begitu saja. Tidak ada Samu yang meledek Sean dan Sean yang merengek. Tidak ada pula suara lembut Shania yang melerai keduanya.
Meski Gara terbilang baru hidup bersama keluarga Juna, Gara sudah merasa rindu dengan suasana rumah yang terasa penuh dan ramai. Meski dulunya Gara juga hanya hidup berdua dengan mendiang mamanya, Gara merasa asing dengan kesunyian yang terjadi.
Karna merasa canggung, Gara dengan cepat menghabiskan sarapannya dan segera berpamitan kepada Juna juga Shania. "Ini uang jajan kamu ya. Tapi jangan jajan sembarangan. Sengaja ayah lebihin buat beli makan yang bener."
Gara menerima uang itu dan memasukkannya dalam saku celana. "Makasih ayah. Aku berangkat sekolah dulu." Gara menyalimi tangan Juna dan Shania disusul oleh yang tertua. "Aku juga berangkat dulu ya bun, yah."
"Hati-hati ya." Hanya itu yang dapat Shania sampaikan sebelum kedua anak adam itu pergi menuju kendaraan yang biasa mengantar mereka ke sekolah. Selepas keduanya berpamitan, Juna menarik tangan Shania untuk mengelusnya dengan lembut.
Lalu Juna mengecup tangan Shania yang dibalas dengan tatapan sayu oleh sang empu. "Kamu jangan terlalu banyak pikiran. Aku gak mau kamu sakit." Yang ditatap hanya diam tak berkutik sambil bergumam dalam hati 'kamu yang bikin pikiran aku jadi kacau mas.'
Lain dimulut, lain dihati. Kalimat itu hanya dikubur dalam-dalam beserta perasaan berkecamuk yang tertata rapi agar tidak terlihat celahnya dalam hati Shania.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...