"Gimana keadaan Sean?" pertanyaan itulah yang pertama kali Juna tanyakan pada Gara yang menunggu dikursi luar ruang IGD. Suara langkah yang tergesa memenuhi lorong IGD yang tidak terlalu ramai sore itu.
"Belum tau yah, Sean masih ditanganin didalem." Hanya itu yang dapat Gara katakan pada Juna. Ia sendiri masih terkejut jika mengingat keadaan Sean saat ditemukan tadi. Kedua tangannya masih gemetar dan rasa cemas memenuhi relung jiwanya.
Saking terlihatnya, Juna dapat merasakan tangan Gara yang bergetar. Ditenangkannya Gara oleh Juna dengan menggenggam tangan Gara. "Kenapa bisa sampe kaya gini? Sean kenapa?" tanya Juna. Gara tidak dapat menceritakan kembali apa yang terjadi pada Sean. Bibirnya kelu dan terasa kaku hanya untuk mengatakan sepatah kata.
Melihat Gara yang tak kunjung menjawab pertanyaan Juna, Ren mengambil alih untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Dari tadi pagi Sean keliatan gak baik om. Sean sakit. Terus, menuju jam pelajaran terakhir dia ijin ke kamar mandi. Tapi, sampe bel pulang Sean gak balik-balik. Makanya aku minta tolong Gara untuk cari Sean bareng-bareng. Lama kita nyari, akhirnya Sean ketemu diruang OSIS dalam keadaan gak sadar." Jelas panjang lebar Ren.
"Tapi yah.." suara Gara mengalihkan perhatian Ren juga Juna yang semula sedang berhadapan. Keduanya memberikan tatapan bertanya dan mengharapkan kelanjutan dari apa yang dikatakan Gara. Namun Gara terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
Setelah menghela napas, akhirnya Gara kembali bersuara. "Kayanya... Sean dibully. Dia gak mungkin pingsan gitu aja. Ada bekas sepatu baju seragam Sean, yah." Ucap Gara sambil menatap kedua manik legam milik Juna. Belum sempat Juna menanggapi perkataan Gara, dari dalam ruang IGD, seorang perawat memanggil keluarga dari pasien yang sedang ditanganinya.
"Keluarga pasien tadi ya?" langsung saja Juna maju sebagai orang tuanya. "Saya ayahnya sus. Anak saya baik-baik aja 'kan?" Gara juga Ren ikut berdiri untuk mendengar kondisi Sean. "Bapak bisa bicara sama dokter yang menangani pasien terlebih dahulu. Untuk sekarang pasien sudah dapat ditengok, namun belum sadarkan diri. Jadi mohon diurus fasilitas rawat inapnya sembari menunggu pasien bangun ya pak. Boleh ikut saya sebelah sini pak." Tutur seorang perawat menuntun Juna menemui dokter yang menangani Sean.
Sedangkan Gara dan Ren menuju ranjang pesakitan tempat Sean berada. Meskipun Gara sudah beberapa kali melihat Sean dengan sebagian wajah tertutup oleh masker oksigen, Gara belum bisa membiasakan diri melihat keadaan Sean yang seperti itu. Wajahnya pucat, kantung matanya terlihat sedikit menghitam. Tak ada rona sama sekali dalam wajahnya.
"Lo yakin Sean dibully?" sebagai teman yang selama ini selalu berada disamping Sean, Ren merasa jika tuduhan itu tidak benar. Ren bahkan tidak pernah melihat siapapun berlaku kasar pada Sean. untuk motif apa seseorang dapat membully Sean sedangkan Sean selalu dalam pandangannya—setidaknya.
Gara masih menatap Sean dengan lamat tanpa berniat menoleh. "Gue beberapa kali liat dia kesakitan di toilet. Gue pikir dia cuma sakit biasa. Tapi setelah liat dia kaya gini, gue curiga Sean emang dibully seseorang." Kini Gara beralih menatap Ren yang juga masih menatap Sean. "Siapapun yang berani bully Sean, bakal berhadapan langsung sama gue!" tekad Ren.
***
Selang beberapa jam perjalanan, akhirnya Samu, Argi juga Januar tiba di rumah sakit yang lokasinya sudah Gara arahkan. Samu berlari guna mengikis jaraknya dengan ruang IGD diujung jalan sana. Kakinya yang jenjang memungkinkan Samu untuk berlari hanya dalam 3 menit.
Samu mengeluarkan handphonenya guna menghubungi Gara untuk bertanya dimana ia berada. Dari belakang, Argi juga Januar berlari kecil menyusul Samu yang sudah lebih dulu sampai didepan IGD. Selagi sambungan telpon itu tersambung, dari arah berlawanan Samu melihat presensi sang ayah yang membawa sebuah kertas dalam genggamannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/313723560-288-k485534.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...