Sorry for the delays update guys.. And,
Happy reading ~~*~
Seusai meninggalnya Shania, Juna resmi menjadi seorang ayah tunggal dengan ketiga putra-putranya. Pastilah kesulitan hidup bersama ketiga putranya tanpa seorang pendamping yang bisa menjadi penengah. Dirinya harus mampu menjalani tugas sebagai ayah, sekaligus seorang ibu bagi ketiganya.
Namun, bukan itu yang menjadi keresahan Juna sekarang. Tumbangnya si sulung membuat Juna sadar, bahwa ia tidak boleh lengah dengan kesehatan anak-anaknya, baik fisik maupun mental.
Dia yang terlihat baik-baik saja bisa jadi adalah yang paling apik menyimpan perasaan dalam-dalam. Dia yang memamerkan senyum paling cerah, bisa saja hanya topeng penutup wajah sedihnya.
Tidak ada yang baik-baik saja setelah kepergian Shania siang itu. Kehilangan satu anggota saja sudah membuat rumah yang tadinya terasa seperti tempat ternyaman dan aman untuk disinggahi, kini menjelma menjadi sebuah goa yang dingin nan sunyi.
Di pagi hari tanpa hadirnya Shania kali ini, keadaan rumah tak seperti biasanya. Tidak ada yang menyentuh sarapan yang sudah bi Ina buatkan di meja makan. Tak ada kegaduhan yang dibuat Sean, juga tidak ada minuman hangat yang tersedia karna selalu Shania yang menyuguhkan.
Juna belum keluar dari kamarnya setelah perasaan bersalah mulai menyerang. Ketiga putranya pun tidak ada yang beranjak dari kamar masing-masing. Selepas tumbangnya Samu semalam, ia hanya diberi infus oleh dokter Dimas yang mengatakan kalau Samu kelelahan. Gula darahnya rendah sehingga ia tak sadarkan diri tiba-tiba.
Dokter Dimas berkata, beruntung Samu pingsan di rumah. Akan bagaimana nasibnya jika tidak segera ditolong dan mendapat diagnosis yang tepat saat itu.
Gara sudah bangun dari tidurnya, namun karna tak mendengar adanya kehidupan diluar sana, Gara mengurungkan niatnya untuk keluar. Mungkin lebih baik ia mengurung diri untuk sementara waktu—mengingat perkataan yang Sean lontarkan untuk dirinya.
Dilain tempat, Sean yang sedari malam tadi tidak bisa memejamkan matanya barang sejenak, baru bisa terlelap kala matahari mulai menampakkan diri. Ia sakit, namun tidak ada seorang pun disampingnya.
Sean juga tidak ingin ditemani, ia hanya ingin sendiri—takut merepotkan yang lainnya. Padahal, ia sangat butuh bantuan orang lain untuk menenangkannya kala asma menyerang tanpa permisi.
Sean sempat menyemprotkan inhaler kedalam mulutnya untuk meringankan pernapasannya—meski sebenarnya itu tak banyak membantu. Namun, karna merasa tak ada perubahan yang signifikan, Sean menyudahi memasukkan obat hirup itu kedalam mulutnya.
Sean lebih memilih memendam rasa sesaknya diiringi ratapan tanpa suara. Semalaman penuh ia habisi untuk menangis hingga rasanya, air mata itu tak dapat turun kembali. Sean sudah menghabiskan jatah air matanya dalam semalam.
Isi kepalanya terasa penuh, namun hatinya terasa hampa. Seperti ada yang hilang disana. Jika diibaratkan sebuah puzzle, satu potongan puzzle yang seharusnya dapat melengkapi pemandangannya telah hilang.
Wanita satu-satunya dalam keluarga mereka sudah tidak bersama mereka lagi. Wanita hebat dengan pudak yang kuat—yang dapat menopang rumah kokoh mereka sudah runtuh dan mungkin tidak bisa dibangun kembali.
Pondasi rumah mereka sudah tidak sesempurna sebelumnya. Penghuni rumah itu pun harus mampu berdiri sendiri tanpa adanya pundak seorang wanita yang selama ini menopang rumah mereka.
Juna, selaku dasar dari rumah yang dibangunnya itu akhirnya sadar, bahwa yang tidak baik-baik saja bukan hanya ia seorang. Masih ada ketiga buah hatinya yang harus ia rawat dan jaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...