30.2 END

605 45 7
                                    

"Kamu cuma harus belajar dengan giat, jadi yang terbaik dan masuk universitas negeri. Kenapa kamu malah berbuat seenaknya kaya gini. Kamu harus liat kakak kamu yang—" belum juga ucapan pria paruh baya itu selesai, ucapan anak laki-lakinya itu menghentikan amarahnya untuk sementara.

"Kakak, kakak, kakak lagi! Aku muak pa! Kakak udah mati, kenapa sih harus ungkit kakak terus? Apa aku aja kurang sampe papa gak bisa lupain kakak?!" anak itu—Angga berdebat dengan pria paruh baya yang ia panggil 'papa' setelah rapat komite selesai. Putusan yang diberikan untuk Angga adalah mengeluarkan diri dari sekolah, atau dikeluarkan secara paksa.

Wali dari Angga, yaitu sang ayah yang naik pitam setelah mengetahui perbuatan anaknya yang diluar pantauannya tentu saja membuatnya merasa dikecewakan. "Jaga ucapan kamu Angga! Kamu itu gak ada apa-apanya sama kakak kamu. Papa besarin kamu untuk bisa menggantikan kakak kamu!"

Angga hanya bisa menyeringai, muak karna semua yang papanya katakan tidak lain dan tidak bukan hanya almarhumah kakaknya. Seakan dunia papanya hanya berputar pada putri satu-satunya itu. Tidak ada Angga sebagai putra nya yang juga membanggakan.

Daripada melukai hatinya lebih lagi karna papanya yang menutup mata dengan kehadiran Angga, pemuda berumur 16 tahun itu meninggalkan orang tuanya yang masih ingin membujuk para komite disiplin sekolah agar memberi kelonggaran untuk anaknya.

***

Disinilah tujuan Angga saat ini. Seperti saat ia dipenuhi rasa benci pada kakaknya, Angga tidak bisa berpikir jernih dan dikuasai oleh seluruh energi negatif yang ada.

Gedung luas yang ramai oleh puluhan—bahkan ratusan orang didalamnya itu menjadi satu-satunya tempat yang ia kunjungi untuk meluapkan emosi yang sedang dirasakannya. Tidak ada yang bisa membantunya memvalidasi segala perasaan amarah dan ketakutannya.

Hanya sang kakak lah yang selama ini berani pasang badan untuk melindungi Angga dari kerasnya didikan orang tua mereka. Sayangnya, wanita cantik itu telah lebih dulu menghadap Sang Kuasa. Angga sudah tidak memiliki siapapun yang dapat melindunginya. Ia sepenuhnya merasa kesepian.

Angga berjalan dengan tempo cepat—setengah berlari membelah kerumunan menuju tujuan utamanya. Amarah sudah membutakan segala akal sehat yang bersarang dikepalanya. Ia yakin, dengan berbekal informasi yang tak sengaja didengarnya beberapa waktu lalu, Angga dapat memastikan bahwa orang yang dicarinya ada ditempat.

Sampai Angga pun telah berada didepan suatu ruangan yang ia yakini bahwa disanalah orang yang telah membuatnya bertindak sejauh ini. Tanpa basa basi, pintu ruangan itu dibuka dengan kasar dan matanya menyapu sekeliling untuk menemukan orang yang dicari.

Tepat diatas ranjang, orang yang dicarinya terlihat. Dengan sigap, Angga menghampiri Sean—orang yang sangat ingin ditemuinya—dan segera mengalungkan kedua tangannya pada leher Sean, mencekiknya tanpa rasa ampun.

"Kenapa hidup lo selalu dikelilingin orang yang mau lindungin lo?! Gue benci itu Sean, gue benci!" nada suaranya meninggi selaras dengan semakin kencangnya genggaman Angga. Membuat Sean kelabakan karna jalan napasnya serasa ditutup dengan paksa.

Seperti tidak ada tanda-tanda bahwa Angga akan melepaskan cekikannya, Angga malah ikut menaiki ranjang pesakitan dan berada tepat diatas tubuh Sean. Wajah Sean juga Angga terlihat serupa dengan alasan yang berbeda. Sean karna mulai kekurangan pasokan oksigen yang membuat rona wajahnya perlahan memudar, sedangkan rona wajah Angga memerah menggambarkan rasa amarahnya.

"Gue gak suka liat lo yang selalu dikelilingin orang yang peduli sama lo. Gue gak suka liat lo gak bersyukur ada mereka disamping lo. Setidaknya lo harus merasa istimewa karna gak semua bisa punya orang-orang yang sayang sama mereka disekitarnya. Lo harusnya bersyukur Sean!"

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang