8. Mulai Tinggal

480 49 0
                                    

Sudah terhitung dua hari sejak kedatangan anak tak diundang itu ke rumah. Tak ada yang berubah, kegiatan mereka selama libur akhir pekan kemarin juga tak ada yang spesial. 

Samu yang menyibukkan diri diluar rumah bersama kedua sahabatnya, Sean yang bermain bersama Ren di rumah, juga ayah dan bunda yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Kini, Senin pagi kembali datang. Ayah sudah berangkat ke kantor lebih dulu, ada yang harus diurus katanya. Jadilah di meja makan ini hanya ada bunda, Samu dan Sean.

Bi Inah menyuguhkan nasi goreng sebagai sarapan, lengkap dengan minum masing-masing orang. Kegiatan sarapan pagi ini diisi dengan hening. Tak ada satupun yang membuka suara, yang ada hanya suara piring dan sendok yang beradu.

"Hari ini, adik kalian datang. Sambut dia dengan baik ya. Bunda mau, dia juga tinggal disini sama kita."

Bunda terlihat santai dan tenang saat memberi penjelasan tersebut. Berbeda dengan kedua putranya yang seketika menghentikan kegiatan mereka. Samu dan Sean menatap bunda yang masih menyantap sarapannya.

"Maksud bunda?" Sean bertanya lebih dulu. Adik katanya? Adik yang mana? Bukankah Sean adalah bungsu dikeluarga ini? 

"Anak yang datang tempo hari, dia juga adik kalian sekarang." Jelas bunda. Nada bicaranya biasa, tak ada penekanan ataupun ketidaksukaan didalamnya. Senyum bunda juga terlihat.

"Kenapa? Kenapa dia tinggal sama kita sekarang?" kali ini Samu yang buka suara. Bukan karna tidak suka, dirinya hanya ingin memastikan satu hal yang sebenarnya Samu pun enggan menerima kenyataannya. Apa benar anak itu anak ayah juga?

Bunda menyingkirkan piringnya dari hadapan dan menatap satu persatu lawan bicaranya—memberi pengertian. 

"Dia adik kalian berdua, bunda harap kalian bisa akur dan terima dia di rumah ini selayaknya keluarga." Setelah memberikan penjelasan, bunda bangkit dari kursi tanpa menghabiskan sarapannya.

"Bunda berangkat duluan ya, kalian langsung berangkat kalo sarapannya udah selesai. Jangan telat, ini hari Senin." Bunda mengusap kepala kakak beradik yang masih mematung itu lalu menyambar kunci mobil dan tasnya yang ditaruh di kursi samping. Berjalan menuju tempat mobilnya terparkir dan segera pergi bekerja.

Memang tak terlihat, tapi setetes air mata jatuh begitu saja ketika bunda sudah menjauhi meja makan. Hatinya masih sakit mengingat perbuatan suaminya. Namun jiwa ke-ibuan nya lebih mendominasi. Ia tidak bisa membiarkan anak itu hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.

Hatinya ia kuatkan, demi kebaikan bersama—terutama anak itu—pikirnya. 

Samu dan Sean masih diam tak berkutik ditempat. Sarapannya bahkan tak kembali disentuh. Sean mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menenggak rakus susu yang ada digelas. 

"Bang, bunda bercanda apa gimana deh? Kok Sean gak ngerti." Yang ditanya malah diam saja. Otaknya berusaha menyatukan kejadian demi kejadian dan menghasilkan sebuah titik terang.

Jadi, anak yang datang beberapa hari lalu memang anak ayah, saudara seayah Samu dan Sean. Kasarnya, mungkin anak itu adalah anak yang tak diharapkan hadirnya oleh kedua orang tuanya—ayah dan perempuan lain. Namun mengapa bunda seperti menerima anak itu dengan lapang dada?

Apa bunda tidak sakit hati melihat anak yang tidak dilahirkannya—bahkan dilahirkan oleh perempuan yang iapun tidak tau dia siapa—ada didalam satu rumah yang sama? Samu tidak mengerti cara pandang bunda mengenai hal itu.

"Kan, gak guna Sean ngomong sama abang kalo lagi bengong gini. Berasa ngomong sama patung." Sean beranjak dari tempatnya tak lupa membawa tas dan bergegas menaiki mobil—yang sudah siap mengantarnya ke sekolah—dihalaman rumah.

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang