Setelah puas berkeliling dan mendapat sekantung penuh jajanan untuk bekal di penginapan, kelima insan itu kini memilih untuk makan malam di prasmanan yang disediakan penginapan di lantai dasar.
Setelah mereka kembali ke kamar masing-masing untuk menaruh bawaan yang sekiranya tak perlu dibawa saat makan nanti, satu keluarga itu berencana untuk berkumpul kembali di lobby untuk menuju tempat makan bersama.
"Mandinya nanti aja kali ya, abis makan. Gak keringetan juga lagian." Samu, Sean dan Gara meletakkan jajanan masing-masing di meja makan yang telah disediakan di kamar mereka. "Iya, lagian tanggung juga kalo mandi. Bentar lagi kita ke bawah buat makan." Gara menimpali perkataan Sean yang sedang duduk di pinggiran ranjang.
Mereka berdua terlihat sangat akrab hari ini, jika saja wajah keduanya mirip, mungkin banyak orang akan mengira bahwa mereka adalah anak kembar saking singkronnya perbuatan mereka.
Tak disangka, Sean dan Gara memiliki minat yang sama dalam bermain game. Obrolan keduanya juga mengalir begitu saja bak kakak adik yang sangat akrab. Sesekali mereka bersenda gurau dan tertawa bersama membuat Samu yang melihatnya tak bisa menahan senyum tipisnya.
Samu bersyukur Sean dapat menerima Gara dan tidak memedulikan asal usul Gara—tidak seperti dirinya. Samu malah berpikir, Sean saja bisa akrab dengan Gara, mengapa dirinya tidak?
Jika dipikir sekali lagi dengan pikiran yang jernih, Gara bukan pihak yang salah disini. Gara hanya seorang anak kecil yang harus menerima takdir rumit dalam hidupnya. Mungkin Samu juga harus mulai belajar untuk menerima Gara sebagaimana Sean yang dapat menerima kehadiran Gara.
"Gak usah mandi, kalian gak keringetan kan? Selesai makan pasti udah malem, gak baik mandi malem-malem, dingin." Saut Samu menimpali pembicaraan kedua adiknya. "Ayo, sekarang kita makan dulu. Nanti ayah sama bunda nungguin." Samu memimpin Sean dan Gara dengan keluar kamar mendahului mereka.
Merasa tidak ada pergerakan yang mengikutinya, Samu membalikkan badan sebelum benar-benar membuka pintu kamar. Ternyata Gara juga Sean tidak mengindahkan perkataannya dan mereka masih tiduran diatas kasur, Sean dengan ponselnya dan Gara yang hanya menatap langit-langit kamar.
"Ayoo! Kok malah pada tiduran sih!"
Lima detik kemudian, Samu mulai menghitung sampai 3. " Saa-tuu!, Duu-aa!," belum ada yang beranjak dari posisinya sampai dengan hitungan ke dua. Langkah terakhir Samu mengandalkan otak cerdasnya kali ini. "Yang kalah traktir es krim besok siang! Tiii—" belum juga hitungan ke tiga selesai, Sean dan Gara berlomba lomba keluar dari kamar mengikuti Samu yang masih setia diambang pintu.
"Harus diancem dulu emang, baru gerak." Ocehnya sambil menutup pintu. Belum ada 1 menit, saat Samu berbalik, eksistensi kedua adiknya itu tak ada dalam pandangannya. Ia ditinggal padahal yang sedari tadi menunggu itu dirinya. Samu sempat terdiam beberapa sekon sebelum akhirnya menyadari bahwa ia ditinggal dan jatuh dalam ancamannya sendiri.
"Ini maksudnya, gue yang kalah gitu? Gue harus traktir mereka es krim besok siang?" tak habis pikir, Samu malah jatuh kedalam ancaman yang ia ucapkan dengan mulutnya sendiri.
"Dasar, punya adek gak ada yang bener. Mana sekarang nambah satu, lagi." Samu berceloteh sepanjang jalannya menuju lobby.
Sesampainya di lobby, Samu melihat kedua orang tua beserta adik-adik manisnya itu duduk dengan tatapan tak berdosa. "Huuu, abang lama banget jalannya. Kami udah laper nih." Protes Sean sambil bersidekap melipat tangannya di depan dada dengan wajah yang terlihat arogan.
Gara yang melihat Sean hanya bisa terkekeh dan menampilkan lengkungan pada kedua bilah pipinya. deretan gigi putihnya terlihat jelas karna senyumnya yang merekah.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...