11. Belum Terbiasa

501 63 9
                                    

"Kenapa sih, mukanya kusut begitu lo. Kurang asupan gosip?" Ren bersuara saat melihat teman sebangkunya menundukkan kepala dan bertumpu pada kedua tangan diatas meja.

Karna kejadian semalam, moodnya pagi ini kembali kacau. Bunda yang biasanya akan lebih memperhatikan dirinya, kini malah berpindah haluan pada Gara. Sean tentu kesal bukan main.

Perhatian yang selalu ia terima, perlahan terasa memudar. Padahal belum genap 24 jam sejak Segara menginjakkan kaki di rumahnya. Dengan iming-iming bahwa ia sekarang adalah seorang kakak, Sean menahan buncahan amarahnya dalam-dalam.

"Woy! Gue ngomong denger gak sih?!" karna terhanyut oleh lamunan, tak sengaja ucapan Ren tak dihiraukannya. Pantas lah pemuda 16 tahun itu naik pitam dibuatnya.

"Apa sih lo! Berisik deh." Merasa kegiatannya terganggu, Sean mengeraskan suaranya. "Lo ditanya daritadi malah bengong. Ati-ati kesambet setan lo." Mendengar ucapan Ren yang mengada-ada, langsung saja Sean melayangkan telapak tangannya pada punggung Ren sebagai balasan.

"Itu mulut kalo ngomong dijaga ya. Kalo beneran gimana malih."

"Jangan main tangan dong! KDRT ini namanya!" seakan kelas punya berdua saja, keduanya malah adu tinggi suara pagi ini. Karna kelas masih terbilang sepi—baru beberapa siswa saja yang datang—suara mereka menggema keseisi kelas.

"Jangan berisik dong! Masih pagi juga!" ucap seorang siswi yang ternyata terganggu tidurnya. Mereka berdua langsung saja saling membungkam mulut masing-masing dan meminta maaf.

Setelah ditegur, barulah mereka berdua mengontrol suara dan kembali berbincang dengan tenang. "Lo sih, berasa kelas punya lo aja apa." Ren dan Sean sudah kembali berhadapan dan mulai obrolan yang sebelumnya tertunda.

"Lo yang kenapa. Pagi-pagi udah ngelamun gak jelas. Ditegur gak nyaut, apa gak serem gue." Sean menghela napas berat mengingat apa yang sedari tadi dipikirkannya.

"Anak itu baru hari pertama aja udah nyebelin banget. Masa bunda jadi lebih perhatian sama dia sih. Padahal kan dia cuma anak selingkuhannya ayah. Tapi kenapa bunda malah nerima dia dan bahkan," sebelum melanjutkan ucapannya, Sean kembali menghela napas panjang untuk meredam emosi.

"Semalem bunda ke kamar gue cuma ngecek dia doang. Sedangkan disitu ada gue yang tidur disampingnya. Waah." Ekspresi muka Sean ketara sangat kesal. Muka julidnya terlihat dan berkali kali menghela napas agar amarahnya tidak meluap.

Ren yang hanya setia mendengarkan akhirnya mengetahui sumber permasalahan yang membuat teman sebangkunya itu jengkel. "Anak yang lo maksud, adek yang katanya mau tinggal di rumah lo itu?" Sean mengangguk mengiyakan.

"Lo udah yakin kalo dia memang anak selingkuhan ayah lo? Mungkin sebenernya itu gak bener, dan lo malah berburuk sangka sama dia." Lanjut Ren memberikan pikiran positif pada Sean.

Namun, memang pada dasarnya Sean tidak suka dengan kehadiran Segara dalam keluarganya, pikiran positif apapun bisa kalah dengan perasaan tidak sukanya. "Kok lo jadi bela dia sih?! Kan yang sahabat lo itu gue, bukan dia!" lagi-lagi Sean tersulut amarah.

Jika sudah begini, Sean tidak bisa diganggu dan harus dibiarkan hingga pikirannya kembali jernih. Kalau tidak, bisa kacau semuanya. "Ya bukan belain dia, ini kan siapa tau aja. 'Kan lo belum tau yang sebenernya." Jelas Ren.

Jengah dengan perkataan Ren, Sean beranjak dari tempat duduknya. "Udah lah, gue mau ke kamar mandi dulu. Gak usah diikutin!" Sean beranjak menuju kamar mandi seorang diri berniat membasuh wajah supaya terlihat lebih segar.

Jangan lupa, semalam asmanya sempat kambuh meski tak parah. Jadi Sean menghemat tenaganya dengan tidak mendebat Ren dan keluar kelas guna mencari udara sejuk kota Bandung pagi ini.

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang