22. Step Out of Them, Voices

394 47 7
                                    

Pagi itu, Shania yang berkata akan berangkat kerja kembali mengurungkan niatnya karna merasa sakit. Padahal, hari itu Shania seharusnya memeriksa finishing dari baju yang sedang didesainnya di butik. Itu adalah hal termenyenangkan baginya dari pekerjaan yang ia dambakan itu.

Entah mengapa, hal kecil yang membuatnya biasa tersenyum itu kini sudah tidak menarik lagi. Dulu, mau seburuk apapun kondisinya, Shania tidak pernah absen dari pekerjaannya jika itu sudah menyangkut 'hasil akhir' dari karyanya.

Bahkan, saat kandungannya dikatakan lemah sekalipun, tidak mengurangi ambisius Shania dalam bekerja. Bisa dibilang, Shania adalah wanita karir yang melipir ke workaholic yang gila bekerja jika saja suami juga kedua anaknya tidak mengingatkan Shania untuk 'slow down'.

Setelah seluruh orang pergi keluar rumah untuk melakukan aktifitas wajib mereka masing-masing, Shania bergegas ke kamarnya dan berganti pakaian dengan yang lebih nyaman. Didudukkannya tubuh yang lunglai itu didepan cermin rias seperti biasa.

Disamping seperangkat meja rias itu, terdapat nakas yang saling terhubung disisi ranjang. Diatasnya, ada lampu tidur buatannya bersama Juna kala masih awal menjalin hubungan asmara. Mengingatnya membuat bibir Shania menyunggingkan senyuman kecil.

"Kenapa kamu memilih untaian kupu-kupu untuk hiasan pada lampunya? Tidak bisakah kau membuatnya lebih sederhana? Butuh banyak sekali origami kupu-kupu yang dibutuhkan."

"Kupu-kupu itu cantik, tapi tidak pernah melihat keindahan sayapnya sendiri. Untuk memiliki sayap yang indah, kupu-kupu harus melewati proses yang panjang sejak dirinya masih menjadi ulat. Selama itu juga, kepompong harus berpuasa setidaknya 14-16 hari lamanya......."

Shania ingat betul, Juna yang memang memiliki IQ diatas rata-rata itu malah mengajarinya tentang metamorfosis kupu-kupu secara detail dari awal hingga akhir. Seharusnya siapapun yang mendengarkan ocehan Juna kala itu akan merasa bosan dan terkantuk-kantuk mungkin.

Apalagi ini adalah kencan pertama keduanya. Tetapi tidak bagi Shania. Yang ia lihat adalah mata berbinar Juna juga ucapan panjang lebar yang tidak semua orang dapat mendengarnya. 

Juna itu orangnya irit berbicara. Namun anehnya, ketika Juna menceritakan hal yang menurutnya menarik, Juna akan terus mengoceh.

Dan Shania suka itu. Itu yang membuatnya jatuh kedalam pesona Juna yang kala itu tak sengaja disalah kenali olehhnya. Pertemuan pertama yang tidak disangka-sangka akan menjadi awal dari kisah cinta keduanya.

Selesai menyelami masa lalu, secara naluriah Shania beranjak menuju kamar anak tertuanya. Kamar itu rapi untuk ukuran kamar seorang bujang.

Kamar bernuansa biru langit dan dongker itu Shania dan Juna buat untuk anak pertamanya ketika beranjak usia delapan tahun.

Saat itu, Samu merengek ingin tidur dikamar sendiri karna selalu terganggu tidurnya oleh tangisan sang adik. Menurutnya, Samu bisa tidur lebih nyenyak jika dikamar sendirian. Tidak dengan bunda dan ayahnya—juga adik kecil yang hanya berbeda dua tahun darinya.

Karna hampir setiap malam, bayi mungil yang ditidurkan dalam box bayi itu menangis karna berbagai hal dan berakhir dengan napasnya yang terdengar sangat lirih.

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang