Hari kian larut, matahari mulai menampakkan semburat oranye dilangit yang semula berwarna biru. Matahari sudah berada tak jauh dari ufuk dengan cahayanya yang menembus lapisan atmosfer.
Keempat pria beda generasi itu masih saling bertaut dengan diri masing-masing. Sudah hampir gelap saat Samu keluar dari kamarnya dan turun mencari seseorang yang dapat diajak berbicara.
Dapat ia lihat seseorang yang duduk termenung di taman belakang berteman kan secangkir minuman dengan asap yang masih mengepul diatasnya. "Ngapain diem aja disini?" Samu menghampiri dan duduk dikursi santai yang tersedia.
Karna terkejut, anak itu menoleh kesumber suara dan mendapati kakak sulungnya yang duduk dengan posisi setengah berbaring dikursi di belakangnya. "Abang kok keluar kamar, udah baikan?"
Sembari menerawang jauh kedepan, Samu menghela napas sebelum menjawab pertanyaannya. "Kalo masih sakit gak bakal ada disini kayanya." Setelahnya, barulah hening karna Gara tidak kunjung membalas ucapan Samu karna merasa tidak ada yang salah dengan jawaban itu.
"Jadi gini ya, rasanya gak ada bunda. Beberapa jam mungkin gak kerasa, tapi makin lama makin kerasa sepinya. Lo juga ngerasain itu kan waktu ibu lo meninggal." Samu memulai percakapan santai dengan Gara untuk memecah kesunyian diantara keduanya.
Gara sendiri hanya menyeruput minuman dalam cangkirnya. Ia harus merangkai kalimat yang akan ia utarakan untuk membalas ujaran Samu. Salah kata sedikit saja bisa menyakiti hati seseorang yang mendengarnya.
"Hmm, rasanya sepi waktu mama udah gak ada. Pagi gak ada sarapan yang biasanya mama buatin. Pulang sekolah gak ada yang bisa aku tunggu lagi pulangnya. Malem juga gak ada lagi yang nemenin aku tidur kalo lagi takut."
"Kegiatan yang biasa kita lakuin sama orang berharga yang udah ninggalin kita itu rasanya kosong, hampa. Lebay nya sih kaya, rasanya mau mati aja." Diakhir kalimatnya, Gara melirik kembali kearah Samu yang sudah memejamkan matanya.
"Aku kebanyakan omong kaya yang udah pengalaman aja. Gak usah dipikirin bang." Terjadi jeda panjang setelah ucapan terakhir Gara. Samu tidak berniat membalas ucapan Gara, begitu pula dengan Gara yang enggan berbicara lebih jauh.
Angin sore ini berhembus sejuk menggerakkan anak-anak rambut Gara yang kini sudah menutupi separuh matanya yang indah—yang mirip dengan sang ibu. Seakan merasakan hembusan angin yang menerpanya, Gara menutup mata dan merasakan elusan halus angin pada kulitnya.
Butuh waktu lama bagi Samu untuk kembali membalas perkataan Gara beberapa menit lalu. "Kan emang udah berpengalaman. Kalo gak pengalaman, kamu gak bakal bisa ceritain apa yang kamu rasain kan." Bukannya ingin mengabaikan, Samu butuh waktu lama untuk mencerna maksud dari apa yang Gara ceritakan padanya.
Karna sudah kehabisan minat, Gara hanya bergumam, "masih mikirin itu aja." Tetapi, mungkin suara Gara terlalu keras atau telinga Samu setajam pendengaran gajah, Samu dapat mendengar gumaman tersebut.
"Gue dari tadi lagi mikir, bukannya gak mau bales." Maklum, Gara belum tau kalau Samu kadang butuh waktu lama untuk sekedar berpikir sederhana. Kalau kata Sean sih istilahnya 'ngebug'. Seperti ada sedikit error dikepalanya jika diajak berdialog.
Gara yang sudah tak bergairah dengan obrolannya bersama Samu hanya bisa mengganggukkan kepala. "Kalian ngapain diluar jam segini? Ayo masuk, udah gelap gitu kok." Tiba-tiba saja terdengar suar Juna dari arah dalam rumah. Melihat Samu dan Gara yang masih terdiam diluar membuat Juna harus menitah keduanya untuk masuk. Tak baik berdiam diri diluar rumah jam segini.
Kedua putra Juna itu menuruti perintah sang ayah dan pergi ke kamar masing-masing untuk beribadah, begitu pula Juna yang bersiap mengambil air wudhu dan menunggu adzan maghrib berkumandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...