23. Hard to Say Goodbye

495 60 6
                                    

~ Maaf banget updatenya lama dan kemaleman, but without any further to do, enjoy the story ~

***

Cuaca diluar begitu bersahabat dengan atmosfir didalam kendaraan roda empat yang melaju membawa tiga orang kakak beradik. Seakan mengejek dan memberikan kesan suram di hari yang masih pagi ini.

Seperti biasa, Samu akan duduk disamping kemudi pak Edi dan kedua adiknya dibelakang. Sean juga Gara duduk saling berjauhan—seperti biasanya—dan tidak ada yang memulai percakapan diantara mereka.

Pak Edi yang mengemudi pun hanya bisa melirik sesekali melalui kaca spion bergantian dengan seseorang disampingnya. Ia yakin, ketiga putra majikannya itu sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.Bergelut antara pikiran juga perasaan yang mereka rasakan sekarang.

Setelah membawa istri tuan rumahnya tadi pagi, pak Edi langsung menghubungi Juna untuk segera datang ke tempat biasa Sean di rawat.

Ia sendiri tidak yakin dengan apa yang dilihatnya—istri majikannya itu sudah tergeletak dengan tangan bersimbah darah dengan pecahan kaca yang berserakan. Bi Ina memanggilnya histeris karna beliau yang menemukan Shania pertama kali.

Pak Edi sempat memeriksa denyut nadi dibagian leher Shania, namun tidak terasa apa-apa disana. Firasatnya buruk dan langsung memboyong Shania ke rumah sakit. Andai saja, salah satu dari ketiga anak yang dibawanya ini yang melihat pemandangan itu, akan bagaimana nasib ketiganya?

Terlebih Gara yang baru saja mengenal dan dekat dengan Shania. Bagaimana dengan Sean yang selalu dimanjanya dan selalu menjadi harta mutiara Shania. Dan bagaimana dengan Samudra yang mendahulukan bundanya ketimbang siapapun itu?

Tak ada yang akan baik-baik saja. Dan hujan mungkin mengisyaratkan akan adanya banyak air mata yang berjatuhan hari ini. Akan ada banyak jiwa yang kehilangan hari ini.

Kini, ketiga pria tampan darah daging Juna itu sudah tiba di rumah sakit sekitar 40 menit menempuh perjalanan. Sepanjang perjalanan pula, jantung Sean tidak bisa berhenti berdetak dengan kencang, hingga Sean merasa sesak dan gelisah.

Entah karna sebelumnya asma menyerangnya, atau memang perasaannya yang tidak karuan. Tubuh Sean sangat lemas sebetulnya. Namun, mengingat ia belum mendengar kabar pasti tentang bunda, Sean menguatkan langkahnya dan tetap fokus.

Tujuan mereka saat ini adalah ruang UGD, tempat dimana Juna menyuruh ketiga putranya untuk menemui Juna. Tinggal berbelok di lorong depan, Samu, Sean dan Gara sudah akan sampai ditempat yang dimaksud.

Dari kejauhan, sudah terlihat Juna yang duduk dikursi tunggu dengan posisi kepala menumpu pada kedua tangannya—merunduk. Semakin dekat langkah mereka pada tujuan, semakin terasa hawa kesedihan yang menyeruak.

"Ayah." Saut Samu terengah-engah yang membuat Juna mengangkat kepalanya. Terpampang raut sedih sang ayah dalam wajah yang mulai dihiasi beberapa kerutan itu. "B-bunda..gimana?" Juna menoleh pada sebuah suara yang memecah keheningan.

Matanya menatap Gara dan menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaannya. "Bunda.. bunda udah pergi. Masuklah, pamitan sama bunda." Hanya satu kalimat yang dilontarkan Juna sebagai jawaban. Namun berhasil membuat perasaan ketiga pemuda dihadapannya sangat kacau.

Benteng yang mereka bangun sepanjang perjalanan tadi seketika runtuh bersamaan dengan air mata yang perlahan jatuh. Pukulan kuat bagi ketiganya mendengar penuturan sang ayah.

Juna menatap dari jauh sebuah ranjang yang ditutupi oleh tirai didalam UGD, seakan memberitahu bahwa sang istri ada disana. "Ayah jangan bercanda. Bunda.. bunda gapapa kok tadi pagi. Kenapa sekarang bunda pergi?" Sean sudah tak sanggup lagi membendung lelehan air mata yang mendesak keluar.

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang