17. Polaroid Love

333 46 11
                                    

Seperti biasa, kebiasaan Shania mengecek anak-anaknya saat malam tetap ia lakukan meski tak di rumah. Berbekal kunci cadangan yang dari awal memang sudah ia pinta pada resepsionis, Shania memasuki kamar sebelahnya untuk memastikan mereka semua sudah tidur.

Pandangan yang dilihatnya langsung menampilkan ketiga pemuda tampan itu yang tidur pada satu kasur dan saling berdempetan berbalut selimut yang tidak muat disamping kanan dan kirinya.

Dengan telaten, Shania mengambil selimut diranjang sebelah lalu menyelimuti Samu dan Sean. Sedangkan selimut yang sudah ada, ia tarik kearah Gara sehingga seluruh tubuh mereka tertutup selimut.

Senyumnya tak bisa ia tahan melihat ketiga putranya berpelukan diatas kasur yang rasanya pas-pasan untuk ditiduri bertiga. Sebelum kembali ke kamarnya, Shania sempatkan untuk membelai dan mengecup pucuk kepala masing-masing pangerannya yang sedang tidur.

"Kalian yang akur ya. Ada atau gak ada nya bunda, bunda harap kalian bisa saling mengandalkan. Bunda selalu berdo'a untuk kalian supaya diberi kehidupan yang bahagia dengan cara kalian." Bulir bening kembali jatuh dari indra penglihatannya begitu saja. Ada sesak dalam dadanya yang ia rasakan setiap melihat eksistensi Gara.

Meski begitu, Shania membalut perasaan berkecamuknya dengan apik. Sehingga tiada satupun yang sadar, bahwa hatinya sakit kala melihat anak itu. Bisa dikatakan, ini adalah teori hipokrisi yang Shania bangun untuk dirinya sendiri. Dimana ia terlihat menerima Gara dan bahkan memberikan afeksi yang sama dengan kedua anak kandungnya, namun sebenarnya sebaliknya.

Bohong jika Shania tidak sakit hati, dusta jika ia tak benci, palsu jika ia berlapang hati. Shania adalah orang yang mudah overthinking, depresi adalah musuhnya. Untuk melawan musuh terbesarnya, Shania mengesampingkan ego dan berusaha menerima Gara dengan pikiran positif.

Tak ingin berlama-lama menggoreskan luka pada hatinya, seusai memberikan kecupan pada Samu, Sean dan Gara, Shania menyalakan lampu tidur disisi ranjang dan kembali menuju kamarnya—tak lupa mematikan lampu utama kamar tersebut. Air mata yang semula masih berjatuhan, ia usap dengan kasar sambil membuang napas menguatkan pijakannya.

***

Pagi yang cerah dipenginapan hari ini, menjadi saksi, dimana Samu yang sudah tergeletak dibawah ranjang beserta selimut yang menggulung sekujur tubuhnya, juga Sean dan Gara yang malah terlihat mendominasi kasur dengan tubuh telentang mereka.

Ternyata Sean dan Gara tidak hanya memiliki kesamaan hobi dan humor, mereka juga sama dalam hal kebiasaan tidur—seluruh sisi kasur diitari bagai bumi yang berotasi pada porosnya. Terbukti dengan tubuh telentang kedua adik Samudra Alley Mananta itu yang dimana kaki Gara berada sejajar dengan kepala Sean, begitu pula kaki Sean yang sejajar dengan kepala Gara.

Kali ini, Juna yang bertugas untuk membangunkan anak-anak. Dirinya sudah rapi dengan setelan olahraga dan sepatu yang menghiasi kaki jenjangnya. "Pagi anak-anak, udah bangun kaa—aan." Juna tak melanjutkan perkataannya saat melihat diatas kasur hanya ada dua putra termudanya saja.

Karna heran, Juna memeriksa kamar mandi, siapa tau si sulung berada disana. Namun, melihat kamar mandi yang tidak dikunci dan kosong, Juna mulai keheranan. Kemana anaknya yang tertua?

"Dek, Sean. Bangun nak. Gara. Bangun, ini bang Samu kemana?" tanyanya khawatir. Yang ditanya masih terlihat memejamkan matanya tak terusik sama sekali. Sean dan Gara tidak bergerak barang sedikit saja. Tak kehilangan akal, Juna mengitari ranjang dan tak sengaja menginjak sesuatu dibalik selimut yang ia lewati.

"Aaaaa!!"

Karna terkejut, Juna langsung kembali mengangkat kakinya dari lantai dan berakhir kehilangan keseimbangan. Tubuh jangkung Juna rubuh menimpa sesuatu yang ada dibalik selimut—yang tak lain dan tak bukan adalah Samu, pemuda yang sedari tadi dicarinya.

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang