Beberapa hari setelah Sean keluar dari rumah sakit, anak itu masih tidak mau untuk berangkat ke sekolah. Dirinya menghabiskan waktu hanya dengan berdiam diri dikamar sembari memandang ke luar jendela dengan pandangan kosong. Begitu saja hari-harinya terlewatkan selama hampir seminggu ini.
Samu, Juna, bahkan Gara sudah beberapa kali mencoba untuk membujuk Sean agar dapat kembali beraktifitas seperti sedia kala. Namun, tak seorang pun dari mereka yang berhasil untuk merebut hatinya. Terlebih Gara.
Gara sendiri tau, Sean sangat marah padanya. Ia juga menyesal telah membuat Sean menjadi pribadi yang murung seperti ini. Ia dihantui perasaan bersalah setiap kali melihat pintu kamar Sean yang tertutup. Hening, seperti tidak ada kehidupan didalam sana.
Gara merasa bersalah bukan hanya pada Sean. Tetapi juga pada keluarga ini. Ia merasa bahwa hadirnya di rumah ini lah yang membuat hubungan keluarga mereka terpecah belah.
Kehilangan Shania sebagai salah satu pondasi rumah ini, hilangnya warna yang menyelimuti, tawa ceria mereka saat bertukar cerita yang mereka alami seharian, juga senyum dari penerang, cahaya dan juga pusat perhatian keluarga ini—Sean.
Sang kakak sulung yang sibuk dengan kegiatan tahun terakhirnya di sekolah, Juna yang harus lebih giat bekerja juga memutar otak agar usaha sang istri dapat terus berjalan, juga Sean yang menyendiri membuat rumah seperti tak berpenghuni.
Jujur, rasanya lebih baik berada di rumah lamanya ketimbang harus berdiam diri di rumah ini dengan selimut rasa bersalah.
"Ngapain ngelamun disitu? Udah kaya Sean aja." Saat sedang asyik bergelut dengan pikirannya, Gara dikejutkan dengan sebuah suara yang memasuki rungunya. Diambang pintu kamarnya, Samu telah berdiri denga dua cangkir yang dihiasi kepulan asap diatasnya. "Abang?" Samu memperlihatkan kedua cangkir itu dan segera masuk tanpa Sean pinta.
Keduanya kini sudah duduk lesehan beralaskan karpet bundar dekat meja belajar Gara. Pintu kaca yang menghubungkan kamar Gara dengan 'balkon' dibiarkan dibuka sedari tadi, sehingga sepoi-sepoi angin malam dapat mereka rasakan.
"Minum. Ini teh chamomile dari bunga asli, ayah yang bawa. Bukan teh sisri yang biasa lo beli di kantin." Melihat secangkir teh yang disodorkan Samu, Gara pun mengeluarkan meja lipatnya agar kedua cangkir itu tidak tersenggol secara tidak sengaja.
"Cars banget gambar meja lo. Kapan beli? Perasaan ayah gak nyediain meja ini."
Gara juga baru menyadari motif dari meja lipat yang dipesannya tempo hari adalah karakter kesukaannya. Mengingat karakter kesukaannya itu, Gara jadi teringat menonton filmnya bersama mama setiap film itu ditayangkan di televisi.
"Ini karakter kesukaan gue. Dulu, kalo di TV ada filmnya, gue selalu nonton bareng mama." Mendadak, suasana pun menjadi melow. Entah sedari tadi suasana memang seperti itu, atau suasana berubah secara tiba-tiba. Yang pasti, kini tak ada yang membuka pembicaraan lagi.
Sebelum teh yang dibuat dengan jerih payahnya itu mendingin, Samu menyeruputnya meski setelahnya mulutnya terasa terbakar karna masih panas. "Makanya gak langsung gue minum karna masih panas, bang." Gara mengingatkan. Samu hanya menjawab dengan berdeham menutupi rasa malu.
"Jangan ngerasa bersalah sama semuanya Gar. Apa yang terjadi di rumah ini emang udah takdirnya terjadi. Entah itu Sean, atau bunda sekalipun." Gara menoleh pada Samu yang kini menatap kearah hamparan langit yang terlihat dari tempatnya duduk. Malam hari memang cocok dijadikan waktu untuk berbicara dari hati ke hati bukan?
Gara tidak menjawab dan hanya menggenggam cangkir teh untuk menghangatkan kedua tangannya. "Jujur, awalnya gue emang gak suka sama lo. Lo yang tiba-tiba dateng dan bilang kalo ayah itu papa lo." Kini, keduanya sama sama menatap langit dengan posisi duduk sejajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Kind Of
FanfictionSean tidak menyangka semuanya akan serumit ini. Ia kira keluarganya adalah keluarga yang akan dilimpahi kebahagian. Namun garis takdir tak semudah itu memperlihatkan benang merah yang entah dimana ujungnya. Dirumah itu, Samu juga merasa gagal menya...