21. Bunda

416 47 5
                                    

Malam hari ini, hujan kembali membasahi bentala yang dimana kebanyakan orang sudah terlelap untuk melanjutkan aktivitas mereka esok hari. Tetapi tidak dengan seorang wanita dewasa yang masih betah berdiam diri didepan sebuah pintu kayu yang beberapa waktu lalu berusaha didobrak oleh penghuni rumah lainnya.

Ya, Shania merasa bersalah karna sudah bersikap kasar pada putra bungsunya itu. Sekeras apapun perlakuan Shania pada anak-anaknya, sebagai seorang ibu tentulah Shania juga merasa tak tega berlaku demikian. Shania harus bersikap 'tega' untuk dapat mengajarkan kehidupan kepada Samu juga Sean.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Seharusnya pemilik mata rubah itu sudah terpejam mengarungi lautan mimpi. Dan sudah lebih dari 15 menit, Shania berdiam diri diddepan ruangan seluas 3 x 3,5 meter itu.

Setelah menimbang kembali apakah ia harus masuk atau tidak, akhirnya Shania memutuskan untuk memberanikan diri masuk kedalam kamar yang biasa ia kunjungi setiap malamnya—namun tidak beberapa malam belakangan.

Pemandangan pertama yang dapat dilihatnya adalah ruangan yang sudah temaram karna hanya lampu tidur saja sumber pencahayaannya.

Di ranjang dihadapannya, terlihat seonggok buntalan dengan hanya kepala yang menyembul keluar—kebiasaan Sean jika hujan dimalam hari. Shania menghampiri ranjang besar milik Sean dan duduk di salah satu ujung kasur dengan perlahan—takut membangunkan tidur sang anak.

Shania menetap dengan lamat dan mengusap lembut surai sehitam jelaga milik Sean dengan penuh kasih. "Maafin bunda karna udah diemin kamu beberapa hari ini nak. Bunda gak bermaksud buat nyakitin perasaan kamu. Bunda cuma ingin, kamu jadi anak yang lebih kuat dan dewasa."

Hanya dalam sekejap, sebuah bulir bening jatuh dari indra penglihatan Shania membuat pendangannya terhalang oleh kristal bening yang siap turun kapan saja. Emosinya naik turun akhir-akhir ini. 

Kadang Shania akan merasa sangat marah, namun dalam kurun waktu singkat suasana hatinya dapat membaik, atau bahkan menangis.

"Bunda ingin, nantinya Sean bisa jadi sosok kakak seperti bang Samu buat Gara. Sean harus bisa dewasa. Karna jika nanti ayah dan bunda gak ada, Sean bisa kami andalkan untuk saling menjaga." Kini, air matanya sudah jatuh dengan deras mengalir pada kedua sisi pipi yang mulai menirus itu.

Jemari lentiknya masih stagnan memilin rambut Sean sambil sesegukan. Shania tidak banyak bicara, hanya banyak menangis. Matanya saja sudah terlihat sembab dan wajahnya semerah tomat.

Sebelum pergi dari kamar Sean, Shania mengucap do'a supaya putranya yang satu itu terus diberikan kesehatan dan kebahagiaan. Mengecup kening Sean lumayan lama seakan kening itu tidak akan ia kecup lagi untuk waktu yang lama.

Shania mengucap kalimat permintaan maaf sebelum benar-benar pergi meninggalkan Sean "Maafin bunda nak, bunda minta maaf." Langkah beratnya kini Shania bawa kembali menuju tempat semula ia masuk.

***

Setelah puas menangis di kamar putra bungsunya, Shania kini sudah berada dilantai dua, tepatnya di kamar yang memiliki penghuni baru. Kamar ini disiapkan oleh Juna dengan waktu yang sangat singkat meski sebelumnya kamar ini sudah terbangun.

Perabotan didalamnya belum sebanyak kamar Sean maupun Samu. Hanya beberapa furniture utama seperti ranjang, satu set meja belajar, dan lemari yang memenuhi ruangan.

Shania mulai menghampiri ranjang tempat dimana ia melihat seorang anak tengah tertidur pulas. Rasa sakitnya masih terasa bahkan saat Shania meyakinkan dirinya untuk menerima Gara dalam keluarganya. 

Ia tak masalah jika ada sosok baru yang masuk dalam kehidupannya. Namun Shania tidak menyangka sosok itu adalah Gara.

Seorang anak yang lahir dari rahim wanita lain dibelakang dirinya. Terlebih, Juna mengatakan melakukan hal itu saat Shania sedang terpuruk. Apa Juna berpikir Shania, anak sulung dan anak yang tengah dikandungnya kala itu tidak cukup untuk membuat Juna setia hanya pada dirinya?

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang