14. Rencana Piknik

391 51 8
                                    

Kini, diruangan yang cukup luas itu sudah berkumpul seluruh anggota keluarga Juna. Gara dan Samu yang baru pulang sekolah langsung mampir menjenguk Sean di rumah sakit. Keduanya enggan pulang ke rumah untuk sekadar berganti pakaian dan meminta langsung menemui Sean.

Setelah insiden mie ayam tadi siang, Shania terlihat tidak duduk dikursi samping ranjang seperti biasanya. Aura yang terasa disekitarnya pun terasa tidak bersahabat. Mungkin bagi Samu yang tidak peka, hal itu wajar wajar saja. Tetapi untuk Gara, hal itu sedikit mengganggu pikirannya.

Hidup dengan seorang ibu tunggal mungkin membuat perasaannya lebih peka akan hal semacam ini. Namun apa bisa buat, Gara tidak berani menanyakan secara langsung tentang apa yang terjadi.

"Gimana Sean? Apa kata dokternya?" Samu duduk disebelah bunda yang sedang mengupas pir. Melihat ada buah yang sudah tersedia, dalam sekejap tangan kotornya mencomot buah itu lalu dibalas tepukkan pada tangannya. "Cuci tangan dulu kenapa sih bang."

Tidak mau mendengarkan, Samu melanjutkan mengambil sepotong buah pir dan langsung memasukkan semuanya kedalam mulut hingga penuh. "Thanggung bhuun" bunda hanya bisa menghela napas melihat kelakuan anak sulungnya itu. Daripada marah, ia memutuskan untuk melanjutkan mengupas pir yang masih tersisa.

"Tuh, kemaren Sean maag makanya perutnya sakit. Kamu makan buah gak cuci tangan dulu nanti sakit juga kaya Sean. Mau?" Juna yang melihat tingkah anaknya menceramahi. Hitung-hitung cari muka didepan Shania karna kesalahannya tadi siang.

"Ayah do'ain aku sakit? Lagian cuci tangan sama maag gak ada hubungannya." Samu langsung beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci tangan seperti yang diperintahkan. Juna sama herannya dengan Shania, mengapa anak sulungnya itu menjadi terlalu sensitif akhir-akhir ini.

Saat semuanya sedang fokus pada Samu, Gara menghampiri ranjang Sean dan bertanya, "lo gapapa?". Sean yang tidak ingin kehilangan karismanya dihadapan Gara langsung mengubah raut wajahnya. "Seperti yang bisa lo liat, gue gapapa 'kan."

Gara bisa menghela napas tenang sekarang karna tau Sean baik-baik saja. "Kemaren bang Samu nyalahin gue, ngira kalo lo sakit karna gue. Gue minta tolong buat jelasin ke bang Samu biar gak salah paham lagi."

Mata keduanya saling menatap dengan tatapan yang berbeda arti. Gara yang terlihat memohon dan Sean yang keheranan. Kenapa pula abangnya itu berpikir bahwa Sean sakit karna Gara. 

"Oke, gampang." Saut Sean. Tak lama, setelah mencuci tangannya di kamar mandi, Samu menghampiri Sean. "Kenapa, kok bisa sakit?" tanyanya. Ia tidak duduk dan memilih berdiri bersebrangan dengan Gara tanpa menatapnya.

"Kaya yang baru pertama kali aja liat aku sakit." Protes Sean. "Abang kenapa salahin Gara pas aku sakit. Sotoy banget, orang bukan karna Gara kok." Gimana? Sean sudah terlihat seperti seorang kakak yang membela adiknya yang tidak bersalah bukan? Sean harus berbangga diri karna bisa melakukannya didepan Gara.

Berbanding terbalik dengan perasaan bangga Sean, Samu malah menanggapi dengan ketus. "Kamu sakit waktu bareng dia, pantes abang salahin dia. Siapa tau dia emang mau nyelakain kamu."

"Abang!" bukan Sean yang menjawab, namun Juna yang sedari tadi memperhatikan ketiganya berdebat yang menjawab. "Kamu itu kenapa sih, sensi banget deh. Jangan tuduh yang sembarangan. Sean sakit bukan karna Gara. Justru kalo gak ada Gara, mungkin Sean bisa lebih parah daripada sekarang." Bela ayah panjang lebar.

Pembelaan yang disebut ayah tak lantas membuat Gara merasa besar. Malah, diliriknya Samu dengan ekor matanya. Wajahnya sudah sangat tidak bersahabat. Gara hanya bisa pasrah jika begini keadaannya.

"Kok ayah sama Sean malah bela dia sih. Lagian curga itu kan wajar, aku bukan fitnah dia juga lagian." Gara melangkah mundur tak menyangka akan seperti ini kejadiannya. Samu sendiri menghela napas kasar sebelum pergi begitu saja dari ruangan.

What Kind OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang