11. Anak angkat Froza

8.7K 332 0
                                    

"Dengan begini kami nyatakan, hak asuh saudara Bima Sakti berada di tangan Froza Aleandro Mahendra sepenuhnya"

Tok tok tok

Palu kayu di ketuk tiga kali pertanda sidang atau rapat ini selesai. Berbondong-bondong semua orang yang berada di dalam ruangan meja hijau itu keluar. Tak terkecuali Froza dan juga Bima.

Hari ini tepat setelah pembagian ijazah SMP Bima, ia diangkat menjadi anak bungsu Froza. Tentunya setelah ia melalui beberapa percekcokan dengan keluarga ibunya terutama pakdhenya. Paijo, Pakdhe Bima juga ikut adil di pengadilan hak asuh anak.

Dia bisa ke kota berkat Froza. Froza sendirilah yang menjemput Paijo ke desa dan di bawa ke kota selama satu hari untuk menjadi saksi diserahkannya hak asuh Bima kepadanya.

Awalnya Paijo memang tidak terima kalau hak asuh Bima di tangan Froza. Dia berpikir bahwa Froza itu orang asing yang baru datang di kehidupan Bima beberapa hari ini, tapi dengan sesuka hati dia mengambil hasil asuh keponakannya. Padahal dia juga bisa merawat Bima.

Tapi berkat beberapa perkataan Froza, Paijo akhirnya menerima saja. Asalkan ia tidak melupakan keluarganya yang berada di kampung. Berbicara tentang Paijo, dia sekarang berada di paviliun samping rumah Froza untuk menginap satu hari satu malam.

"Bang," panggil Bima lirih.

"No no no, sekarang lo panggil gue daddy, ayah, papa apalah terserah. Sekarang lo jadi anak gue jadi harus sopan!"

Belum sempat Bima berbicara lebih lanjut, perkataanya sudah di potong oleh Froza. Dan lihatlah betapa serombongnya si duda satu eh dua anak ini. Dia sibuk tebar pesona kepada wanita-wanita yang masih berlalu lalang di sekitarnya. Menunjukkan bahwa dia adalah manusia paling tampan di dunia.

"Papa," panggil Bima lirih.

"Nice"

Froza mengacak acak puncak kepala Bima dengan gemas. Tidak ia sangka bahwa remaja yang sekarang berumur 16 tahun ini menjadi anaknya. Diumurnya yang menginjak 30 tahun ia sudah berani mengadopsi anak dari asisten rumah tangannya, dulu. Kalau dilihat mereka seperti Kaka beradik yang akrab.

Lihatlah mereka berjalan berirama keluar dari gedung menuju parkiran.

"Let's go, son!"

🐄

Kepulan asap rokok menguap di udara persekitaran seorang pria yang duduk manis di kursi rotan yang berada di balkon kamarnya. Memandangi langit yang mulai menghitam sedikit demi sedikit, tak lama rintikan air dari langit turun membasahi bumi. Gemuruhnya guntur tak membuat pria itu beranjak sama sekali dari kursi rotan itu. Tanpa ada niatan mematikan rokok itupun. Baginya rokok adalah pelarian yang tepat setelah wanita.

"Mas ini kopinya, diminum!" Sampai suara yang mengalun lembut di gendang telinga membuatnya buru-buru mematikan rokok itu dan membuang pitungnya ke sembarang arah.

Metanya menatap kearah sumber suara. Gadis dewasa yang berdiri di dekatnya dibalut dengan daster rumahan, rambutnya di Cepol asal asalan hingga menampakkan leher jenjangnya.

"Makasih, sini duduk!"

Bukan. Bukan lagi menyuruh, melainkan memaksa, pria itu langsung menarik pergelangan tangan si gadis hingga gadis itu terjatuh tepat di pangkuan si pria dengan posisi menyamping

Kedua tangan kekar pria itu melingkar manis di pinggang ramping gadis yang sangat pas di genggamannya, seolah Tuhan menciptakan pinggang itu untuknya sendiri.

"Mas jangan gini," cicit gadis itu lirih. Ia tidak bisa bergerak leluasa lantaran tubuhya di kunci dengan lengan kekar itu. Tubuhnya yang mungil membuatnya tengelam dalam pelukan pria itu. Hangat. Satu kata untuk menggambarkan gadis itu. Posisi dan suasana ini sangat cocok untuk saat ini, lantaran rintikan air hujan dan udara dingin menembus kulit telanjangnya.

Tapi sayang, jantungnya yang tidak cocok, kenapa harus berdetak dua kali lipat dari biasanya?

"Shuttt, gini aja. Hangat!"

Tanpa mempedulikan gadis yang berada di pangkuannya, pria itu mengeratkan pelukannya hingga jarak diantara mereka berdua lenyap. Wajahnya bertumpu di pundak gadis yang masih mematung itu.

Debaran aneh mulai menguasai mereka berdua, seolah mereka baru saja melihat hantu.

"Mas, gimana sama persidangan hak asuh Bima?"

"Berjalan dengan lancar." Mereka adalah Caca dan juga Froza. Keduanya sama-sama membisu dengan posisi yang sangat tidak mengenakkan. Ah bukan mereka berdua, melainkan hanya Caca yang membisu, lantaran dia gugup.

"Mas jadi angkat Bima jadi anakmu?"

"Jadi, sesuai apa yang gue omongin tadi malam."

Ah, Caca jadi ingat sedikit percakapan tadi malam. Yang mana Froza mengatakan bahwa ia akan mengangkat Bima menjadi anaknya, makanya ia bertanya kepada Caca dan juga meminta saran Caca. Kenapa Caca? Karena secara tidak langsung Caca juga mengurus kebutuhan Bima kan?

"Mas kamu ngapain si niup-niup leherku?"

Sumpah, Caca tidak habis pikir dengan duda satu ini. Kenapa juga segala niup-niup lehernya kayak ngga ada kerjaan aja. Kan rasanya aneh, kayak ada sensai geli-geli merinding. Ditambah lagi cuacanya yang dingin. Membuat bulu kuduk Caca meremang, apalagi yang ada di tengkuk.

"Gpp, gabut aja gue!"

Wajah Froza di tenggelamkan di leher jenjang Caca, mencari posisi ternyaman untuk memejamkan matanya. Napas hangat mulai menerpa leher jenjang Caca, membuatnya menahan napas selama beberap detik.

Jujur dia tidak pernah berdekatang dengan lelaki apalagi sampai seintim ini, ini adalah pengalaman pertama Caca, ya maklum kalau rada kaku dan juga norak, tapi Caca tidak berbohong tentang itu.

Baru saja Froza akan memejamkan matanya tapi teriakan Pitan membuatnya berdecak kesal.

"DADDY"

Brak

Baru saja berteriak, Pitan sudah menendang pintu balkon yang terbuat dari kaca dengan keras. Untung saja kaca itu tidak pecah dan tak mengenai kaki Pitan.

"Eh, merica kok di pangkuan Daddy? Kan merica udah besar"

Baru saja Caca akan bangkit dari pangkuan Froza tapi aksinya gagal karena tangan kekar Froza menahan pinggang ramping Caca. Seolah Tuhan menciptakan pinggang ramping itu untuk Froza hingga pas berada di rengkuhannya.

"Ah...eng...

"Emang kenapa kalau udah besar? Ga boleh di pangkuan?" Sinis Froza menatap Pitan yang berdiri di depannya. Pitan selalu saja menganggu waktunya bersantai.

"Iya gak boleh di pangkuan, kata Bu guru Pitan gitu." Pitan ingat betul dengan salah satu perkataan gurunya tempo hari saat di sekolah.

"Heleh, gurumu aja yang gak pernah di pangku cowok jadinya bilang gitu. Gurumu udah nikah?"

Pitan menggeleng kecil.

"Pantesan!"

🐄

Sedangkan di belahan bumi yang lain serta di waktu yang bersamaan. Seorang wanita yang baru saja selesai mengiris sosis untuk ia masak tiba tiba tersentak kaget, padahal tidak ada yang mengagetkannya karena dia hanya sendirian berada di apartemen lantai 7 kamar 26.

"Wah ada yang ngatain aku nih, kira-kira siapa ya?"

Katanya pada diri sendiri.

"Aku doain, semoga harimu Senin terus!"

Tbc

Gimana gue baik kan sama kalian😏😏 malam Minggu gue up sengaja buat nemenin kalian yang mojok di kamar, kasian banget😔🙏

SAMA KOK GUE JUGA!

Siapa yang pengen jadi anak duda? Cung jari🖕🖕

Kalian tau ga kenapa aku buat cerita ini. Tentang juragan sapi. Tentang duda. Tentang Froza. Ayo tebak!

Makasih yang udah mampir dan setia nunggu cerita ini update, vote dan coment jangan lupa ya!

Mas duda
Sabtu 17 September 2022

Mas Duda (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang