6. Surat kontrak kerja

6K 273 2
                                    

Sudah genap 10 hari kematian Bi Dilah. Sejak saat itu hidup Bima pindah ke kota. Pakdhe, yang notabenenya kakak dari ibunya awalnya menolak keras kepergian Bima yang akan ke kota. Tapi berkat perkataan Bima, yang Froza sendiri tidak tau apa yang di katakan, akhirnya diperbolehkan ke kota, asalkan setiap beberapa bulan sekali pulang kampung. Dan Froza pun tidak masalah.

Soal kelulusan Bima, itu sudah diurusi Froza, setelah ia mengatakan akan membawa Bima ke kota. Keesokan harinya, ia mendatangi sekolah Bima, SMP Nusantara, bertemu kepala sekolah dan mengatakan untuk anak didiknya yang bernama Bima Sakti ujian kelulusannya diadakan online. Awalnya Pak Rajwan, selaku kepala sekolah menolak keras maksud Froza, tapi setelah Froza menjelaskan dan sedikit menghasutnya kepala sekolah itu akhirnya setuju.

Dan hari ini, adalah hari terakhir Bima menjalankan ujian kelulusan secara online di rumah Froza. Tentu saja Froza tidak main-main dengan perkataanya tempo hari.

Tak tanggung tanggung, Froza langsung membelikan Bima laptop Boba 3, handphone Boba 4 dan masih banyak lagi fasilitas yang Bima dapatkan dari Froza.

Tuh kan apa yang di kata Bima, dia tidak mau membuat repot Froza tapi kata Froza...

"Itu gak ada apa apanya bagi gue, mau lagi?"

Perkataan Froza kemarin membuat Bima menggeleng brutal.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 dan Bima kini sudah selesai mengerjakan ujian kelulusan yang terkahir kalinya. Ia menatap sekeliling kamar yang ia tempati, ini adalah kamar ibunya, dulu.

"Ibu, Bima udah selesai ujian," adunya pada foto mediang ibunya yang berada di atas nakas.

"AAAA KAK BIMA PITAN UDAH SELESAI SEKOLAH. KAKAK DIMANA??"

Teriakan Pitan bagaikan bom atom yang mengagetkan seluruh jiwa. Bima tersentak kaget.

Brak

"Kak Bima mo ceritaaaa"

Dengan tidak sopannya, Pitan membanting pintu kamar Bima dan langsung meloncat ke tubuh krempeng Bima.

"Auuu," ringis Bima saat Pitan langsung duduk di antara kedua pahanya.

"Eh eh sakit ya? Maaf Pitan minta maaf kak," mata Pitan berkaca kaca menatap Bima yang masih saja meringis kesakitan. Entahlah semenjak Bima berada di rumahnya Pitan menjadi lebih cengeng dari biasanya.

"Enggak kok enggak cuma ngilu aja," sangkal Bima saat melihat mata berkaca kaca Pitan. Tidak sepenuhnya berbohong Bima, memang nyatanya hanya ngilu tapi juga sakit secara bersamaan.

"Ga jadi cerita ya?" Tanya Bima menatap Pitan yang masih saja berkaca kaca. Sontak mata pitan berbinar seneng.

"Kak tau ga tadi aku liat anak kecil cantik banget, imut-imut gitu. Dia tu murid baru, katanya anak pindahan dari sekolah sebelah. Tau ga?" Bima menggeleng.

"Namanya siapa?"

"Aku enggak tau, karena dia ada di kelas B, sedangkan aku di kelas unggulan!"

"Tapi aku manggilnya, sweetie," lanjut Pitan dengan kekehan kecil.

"Astaga, bocah," batin Bima mengumpat.

"Suaranya imut tau, matanya bulat, besar ih jadi pengen aku kurung di kamar deh!"

"Hehh," mata Bima membola sempurna, perkataan Pitan tidak sepantasnya untuk anak seusianya.

"Engga boleh ya?"

Bima menggeleng brutal, "Boleh kok, tapi besok ya kalau udah besar, kan sekarang masih anak-anak," tutur Bima menasehati.

"Emangnya gimana tanda-tanda orang besar?"

Mas Duda (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang