11 | Trauma 2

44 5 2
                                    

Seperti terjatuh ke dalam jurang keputusasaan, ia merasa seperti dunia yang ia bangun runtuh begitu saja. Rumah yang telah ia cintai selama bertahun-tahun sekarang sudah diambil.

Mata Delisha dipenuhi dengan air mata yang tak terbendung saat ia harus meninggalkan rumah yang pernah menjadi tempat perlindungan dan kehangatan. Kenangan manis tentang masa lalu terpatri dalam setiap sudut rumah yang kini hanya menjadi kenangan. Ia merasa terpukul dan hampa, seolah kehidupan yang ia kenal telah direnggut.

Delisha tak sadar bahwa dirinya dipanggil  oleh seorang wanita paruh baya. 
Ia baru menyadari bahwa namanya dipanggil berkali-kali, ia merasa terkejut dan heran. Delisha mengangkat kepala, melihat sekitar, dan bertanya, “Ya?”

“Kenapa melamun, ayo masuk ke rumah ibu,” ajak Bu Rima menawarkan untuk tinggal bersamanya untuk sementara waktu.

Dirinya merasa bingung dan tidak yakin apakah harus menerima tawaran tersebut. Delisha merasa enggan untuk menggantungkan hidup pada orang lain. Namun, akhirnya mengakui bahwa itu adalah pilihan terbaik yang mereka punya saat ini dan menerima tawaran dengan hati terbuka.

***

Pagi hari yang datang setelah semalam yang penuh kegelisahan, ia terbangun dengan hati yang masih terhimpit beban pikiran. Bayangan rumahnya disita terus menghantui pikirannya, menciptakan kecemasan yang tak terelakkan. 

Namun, saat langkahnya keluar dari tempat tidur, ia merasakan cahaya pagi yang memasuki kamar, mengingatkan dirinya bahwa masih ada harapan di balik kegelapan.

“Delisha. Nanti saya ada arisan sampai malam, kalau suami saya belum pulang kerja, kamu ambil saja kuncinya di bawah keset, biar tidak menunggu saya pulang arisan,” ucap Bu Rima sembari meletakkan peralatan makan di dapur.

Sambil membantu membersihkan peralatan dapur, Delisha dengan lembut mengiyakan kata-kata Bu Rima. Sinar matahari menyinari wajah mereka, menciptakan aura kehangatan di sekitar mereka. Delisha merasakan betapa pentingnya momen itu, di mana kesederhanaan sebuah tindakan dapat menghubungkan hati-hati orang lain.

***

Delisha pulang ke rumah Bu Rima, melewati rumahnya sendiri. Ketika dia melihat rumahnya yang gelap tanpa sedikitpun cahaya, dia hanya menarik napas dalam-dalam. Kehampaan dan kesendirian rumah tersebut terasa begitu kuat. Tanpa sadar, air mata Delisha mulai menetes, dan dengan lembut ia mengusapnya.

Dengan hati yang berat, Delisha melanjutkan langkahnya menuju rumah Bu Rima. Ketika dia mencoba mengambil kunci yang biasanya disimpan di bawah keset, dia terkejut karena kunci itu tidak ada. 

Perasaan khawatir pun muncul dalam dirinya, terbersit pertanyaan apa yang mungkin terjadi dengan Bu Rima. Tanpa ragu, Delisha mencoba membuka pintu tersebut. Dan sungguh, pintu itu tidak terkunci.

Delisha memasuki rumah Bu Rima dengan hati yang penuh kekhawatiran.
Dengan hati yang sedikit cemas, Delisha menghentikan langkahnya saat suami Bu Rima memanggil namanya. Suara suami Bu Rima terdengar lembut namun penuh kehadiran.

“Delisha.”

Delisha menjawab dengan lembut, “Iya, Pak,” berhenti di depan pintu kamar. Hatinya berdebar-debar, tidak tahu apa yang akan diucapkan suami Bu Rima.

Perasaan gelisah dan cemas muncul pada tubuhnya, denyut jantung berdebar semakin kencang, pernapasan semakin cepat, saat suami Bu Rima semakin mendekati dirinya.

“Kalau saya lihat-lihat, kamu cantik juga," ucapnya dengan suara serak, sambil membelai pipi putih milik Delisha.

Delisha merasa perasaan tidak nyaman merayap di dalam dirinya saat ia menyadari implikasi dari tindakan suami Bu Rima. Dalam upaya untuk menjaga reputasinya dan menghindari kecurigaan tetangga, ia berusaha menegur dengan hati-hati.

DELISHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang