Di depan rumah yang menjadi markas penculik Delisha. Mereka menyaksikan penjagaan yang amat ketat di sekelilingnya. Ernest memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk menyerang penjaga yang berjaga di depan pagar. Dua penjaga itu seketika menjadi korban, tembakan jarak jauh dari Ernest mengakhiri nyawa mereka dengan peluru yang menembus kaki dan dada.
Namun, begitu mereka memasuki rumah, keadaan berubah drastis. Para penjaga hitam berpostur besar muncul dan mencegat mereka dari dalam. Tidak ada rasa gentar dalam ekspresi Ernest saat ia berhadapan dengan ancaman baru ini. Dengan wajah datar yang khas, Ernest memukul salah seorang pria di pipi, menyebabkan darah mengucur. Namun, serangan balasan dari pria itu tak terhindarkan, memukul Ernest dengan keras.
Kini, ruangan penuh dengan ketegangan, pukulan dan tusukan senjata tajam terjadi dalam kekacauan. Setiap serangan dan belaian terdengar dalam hiruk-pikuk pertempuran. Suasana penuh perkelahian dan ancaman mencekam.
“Bagaimana keadaan di luar?” tanya pria itu, suaranya gelisah.
“Sepertinya kita akan kalah, tuan. Pasukan mereka datang lebih banyak, dan banyak anak buah kita yang tewas,” jawab anak buah dengan nada putus asa.
“Sial!!” geram pria itu, frustasi merasuki dirinya.
“Bagaimana aku bisa membunuh pria itu, sial!” gumamnya, perasaan keputusasaan semakin menyelimutinya.
“Bagaimana kalau kita menggunakan umpan?” usul anak buah, mencoba membangkitkan harapan.
Pria itu mengerutkan kening, kebingungan tampak di wajahnya, namun dia tertarik dengan ide yang muncul dari anak buahnya.
“Umpan?” tanyanya, ingin tahu lebih lanjut.
Anak buah itu membisikkan rencana ke telinga pria itu, dan wajahnya pun berubah menjadi licik. Pria itu tersenyum puas, merasa bahwa rencana tersebut bisa berhasil.
“Bawa dia! Tutup matanya,” perintah pria itu, sambil senyum licik merekah di wajahnya.
Anak buah dengan cermat membawa umpan, tangannya terikat, matanya tertutup rapat, dan mulutnya dilakban.
“Pintar,” gumam pria itu, menyaksikan tampilan umpan yang cukup meyakinkan.
Dalam ketegangan yang semakin merayap, detik demi detik berlalu. Suara teriakan mendadak memenuhi ruangan, memecah kesunyian. Pria itu menunggu dengan tenang, menghisap rokoknya dengan santai, sambil merasakan adrenalin yang merasuk dalam tubuhnya.
“Selamat datang Ernest,” sapa pria itu seakan mengejek sambil menghisap rokoknya.
Ernest memandang Delisha, duduk di belakang pria yang terikat, memicu gelora emosinya. Tangannya gemetar ketika ia menatap pria tersebut dengan tatapan tajam yang menusuk.
“Lepaskan dia, brengsek!” seru Ernest, pistol diarahkan dengan penuh ancaman ke arah pria itu.
Pria itu meremas rokok dan mematikannya dengan langkah mantap. Langkah berat membawanya mendekati Delisha, merobek kain dan membuka lakban dengan sedikit kekerasan.
Delisha mengerjapkan matanya, dan pandangannya tanpa sengaja jatuh pada sosok yang berdiri di depannya. Air mata tak terbendung meleleh saat ia melihat pria yang telah lama ia rindukan. Ernest, suaminya, akhirnya datang. Air mata pun perlahan jatuh dari mata Ernest, ia mengusapnya kasar, tekad bulat dalam hatinya, ia harus membebaskan istrinya.
Namun, ketika Ernest hendak membebaskan Delisha, kejadian tak terduga terjadi. Pria yang telah menculik Delisha menodongkan senjata tajam ke arah kepala Delisha, mengancam dan menambahkan lapisan baru ketegangan dalam situasi ini.
“Lepaskan dia! Jangan sentuh dia, brengsek!” bentak Ernest dengan penuh amarah, matanya menyala menantang pria tersebut.
Delisha menoleh ke kiri, hatinya berdebar kencang oleh pemandangan yang mengejutkan. Di hadapannya, sosok yang telah menyekapnya selama ini, memegang senjata tajam yang mematikan dan mengarahkan kepalanya.
“Tuan? Untuk apa Tuan menculik ku?” desakan Delisha terdengar gemetar, mencari jawaban atas penyanderaan nya.
“Untuk apa! Karena aku sayang padamu, Delisha. Seharusnya aku yang harus mendapatkan mu, bukan dia!”
“Brengsek!! Kau, Robert.”
Tawa sinis Robert memecah keheningan, mengiris emosi Ernest. Tawa tersebut seolah mengolok-olok Ernest, menggugah kemarahannya.
Dalam suasana tegang, Robert dengan licik mengelus pipi Delisha, namun Delisha dengan cepat menghindar, menunjukkan keberanian dan ketegasannya.
“Kau ingin membunuhku, Ernest? Cobalah,” ucap Robert, senjata terangkat mengancam di kepala Delisha. “Kau ingin dia? Lepaskan senjatamu. Sekarang!”
Terguncang, Ernest terpaksa menurunkan senjatanya ke tanah. Namun, detik itu juga, Robert memberikan isyarat diam-diam kepada anak buahnya, rencana jahat pun bergerak maju.
Ernest hendak bangkit, tetapi tiba-tiba tengkuknya dipukul oleh kayu tebal. Pukulan demi pukulan menghantam wajah dan tubuhnya, darah mulai mengalir, dari sudut bibir dan wajahnya.
Robert, melihat Ernest terkapar dan dianiaya oleh anak buahnya, tersenyum penuh kepuasan. Dia menikmati momen itu, melihat musuh bebuyutannya menderita. Di sisi lain, Delisha menangis dengan tersedu-sedu, berusaha membujuk dan memohon untuk melepaskan suaminya.
“Tuan, aku mohon, lepaskan suamiku.”
Namun, Robert dengan kejamnya membalas, “Suamimu? Aku yang seharusnya menjadi suamimu, bukan dia!” Bentakan tajam itu terdengar memenuhi ruangan, menggambarkan ketidakstabilan emosional yang membara.
Delisha hanya bisa menggelengkan kepala dengan sedih, menunjukkan bahwa ia tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Robert. Ernest, yang mendengar perkataan Robert, hanya membalas dengan senyuman meremehkan.
“Sayang, aku mohon, bangunlah.”
Tak lama kemudian, Ernest bangkit. Ia melihat Delisha menangis, dan kehadirannya membuatnya menguatkan hati untuk melawan.
Segera, anak buah Ernest tiba dan menyerang para pengikut Robert. Dalam kekacauan itu, Ernest dibantu untuk bangkit berdiri. Ia menatap Robert dengan senyuman remeh, mengesankan bahwa meski terluka, ia tak akan menyerah begitu saja. Bahkan, darah di sudut bibirnya pun ia jilat dengan penuh tekad.
Anak buah Robert tergeletak tak berdaya di sekitar, hanya tersisa Robert dan anak buahnya, Ernest. Delisha masih terancam oleh senjata Robert, tetapi Ernest terus maju dengan langkah pasti, tatapan matanya menusuk tajam.
Tiba-tiba, dua tembakan menghantam area perut Robert, teriakan kesakitan menggema di ruangan itu. Darah mengalir deras dari luka tembak yang baru saja dihasilkan. Ernest tidak berhenti di situ, ia menembak kening Robert tanpa ampun. Robert terjatuh tanpa suara, tubuhnya limpah ke tanah.
Ernest segera melepaskan ikatan Delisha, meraihnya dalam pelukan erat. Dalam keadaan yang penuh emosi, tangis dan isakan pecah dari keduanya, menyatukan perasaan lega dan rasa sakit yang mereka alami.
Bab ini sudah direvisi ulang semoga kalian semua suka dengan ceritanya.
Jangan lupa vote dan komentar.
Terima kasih 💜
Salam Azura
Revisi, Sabtu 5Agustus 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
DELISHA
RomanceTempat itu menciptakan atmosfer yang suram dan asing bagi Delisha. Ruangan yang temaram membuatnya sulit untuk melihat dengan jelas, dan lampu-lampu yang berkerlap-kerlip menambah ketidaknyamanan di matanya. Bau alkohol menyelubungi udara, memberika...