Ernest, dengan hati yang penuh sukacita, melangkah menuju ruang tamu. Wajahnya yang biasanya serius dan tegang, kini terhiasi senyuman lebar yang menggambarkan kegembiraannya.
Melihatnya begitu bahagia, Alfie dan Ace merasa bingung. Bagaimana mungkin pulang dari taman membuat Ernest berubah menjadi orang yang sepertinya kehilangan akal, tersenyum-senyum sendiri sambil memandangi jari kelingkingnya.
Begitu pelayan-pelayan yang setia melihat Ernest dengan senyuman penuh makna, mereka menundukkan kepala mereka dengan hormat. Namun, dalam kebingungan mereka, mereka juga melihat bahwa sesuatu yang berbeda terjadi pada majikan mereka.
Tidak seperti biasanya, senyuman di wajah Ernest terpancar begitu tulus dan hangat, memberikan pesan bahwa ada kebahagiaan yang lebih dalam hatinya.
Bi Mina, yang telah lama melayani Ernest dan mengenalnya dengan baik, melihat perubahan itu dan berdoa dalam hatinya. Ia berharap dengan segenap jiwa dan rasa setianya, agar kebahagiaan itu tidak pernah berakhir untuk Ernest.
Sebab dalam senyumnya yang menyentuh hati, Bi Mina tahu bahwa Ernest telah menemukan kebahagiaan yang hakiki, yang mungkin selama ini telah ia cari-cari.
Ponsel Alfie berdering, memecah hening yang tegang di ruangan. Suara bergetar itu menusuk ke dalam keheningan seperti pisau tajam, menciptakan gelombang ketegangan yang melanda semua orang di sekitarnya. Semua mata tertuju pada ponsel tersebut, dan kecemasan menebar di udara.
Dengan gemetar, Alfie melihat panggilan masuk dari layar ponselnya, mencerminkan ketegangan yang melingkupi dirinya.
Suara dering yang biasanya familiar kini terdengar menyakitkan di telinganya, menambah intensitas ketegangan yang sudah ada sebelumnya. Hati Alfie berdegup kencang, merasakan adrenalin melonjak di dalam dirinya, seakan-akan hadirnya panggilan itu membawa berita yang mengerikan.
Tatapan semua orang terfokus pada Alfie, menunggu dengan napas tertahan bagaimana ia akan merespons panggilan itu. Seketika itu, ruangan terasa semakin tegang, seolah-olah waktu berhenti dan semua kehidupan terpaku pada momen yang menentukan.
Alfie mengambil napas dalam-dalam, menekan tombol warna hijau “Ya.” lalu, tak lama kemudian ia mematikan ponsel tersebut.
Wajahnya menjadi kaku, tanpa ekspresi. Bibirnya yang biasanya lembut terlipat rapat, menyatakan kekhawatiran yang mendalam.
Ernest menatap Alfie dengan mata yang penuh kekhawatiran, suaranya memotong udara dengan nada yang tajam, mencerminkan kegelisahan yang mendalam. “Kenapa?” tanyanya, seperti pisau yang menusuk langsung ke dalam ketidakpastian yang menyelimuti ruangan. Detik-detik berlalu dalam keheningan yang mencekam, semakin menambah tekanan di antara mereka.
“Markas Diserang oleh seseorang,” ucap Alfi dengan suara dengan suaranya terdengar tercekat, seolah-olah kata-kata itu melawan keheningan dengan susah payah.
Tatapan Ernest berubah menjadi menakutkan, Bi Mina dan para pelayan langsung menundukkan kepala mereka. Mereka tahu tatapan itu adalah tatapan yang penuh keinginan untuk membunuh.
Ernest mengeluarkan kalimat tersebut dengan suara yang penuh mendesak dan keputusasaan. “Kita harus pergi ke sana sekarang!” serunya. Suaranya terdengar gemetar oleh adrenalin yang meluap di dalam dirinya. Setiap kata yang diucapkannya menciptakan gelombang ketegangan yang melanda ruangan, mendorong mereka semua untuk bertindak dengan cepat dan tanpa ragu.
Mereka bergerak cepat, melangkah menuju markas untuk melihat situasi yang ada di sana. Ketegangan mencengkeram mereka, dan kekhawatiran tentang apa yang mungkin terjadi membuat napas mereka terasa sesak. Hatinya berdebar kencang, karena mereka tidak tahu apa yang menanti mereka di markas. Namun, mereka harus bersiap menghadapinya dengan tekad dan keberanian.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELISHA
RomanceTempat itu menciptakan atmosfer yang suram dan asing bagi Delisha. Ruangan yang temaram membuatnya sulit untuk melihat dengan jelas, dan lampu-lampu yang berkerlap-kerlip menambah ketidaknyamanan di matanya. Bau alkohol menyelubungi udara, memberika...