Happy Reading
.
.
.
.
.
.
.
.Saat keluar dari kamarnya pagi ini, Shera mendapati Marten tengah santai menonton televisi. Shera tidak penasaran darimana Marten bisa mengetahui password apartemennya. Apapun bisa Marten lakukan bukan?
Melihat sang nona yang bersiap untuk berangkat, tanpa banyak bicara Marten mematikan saluran televisi lantas beranjak dari duduknya.
"Kakakku dimana Marten? Apa masih dikamarnya?" Shera melihat arloji ditangannya, waktu menunjukkan pukul tujuh pagi.
Marten mengedikkan bahunya tanda tidak tahu atau tidak peduli. Jika orang lain yang mempunyai asisten seperti Marten mungkin akan dipecatnya tanpa pesangon sama sekali. Tapi bagi Shera, Marten jauh lebih berguna untuk menjalankan tugas penting darinya daripada mengurusi hal yang remeh.
Selama perjalanan menuju kerumah sakit baik Shera maupun Marten tak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. Shera mencium sesuatu yang aneh, aroma darah yang begitu kuat.
"Lain kali jika kau masih membawa koleksimu saat bersama denganku. Aku akan menjadikanmu sebagai kelinci percobaan praktekku Marten." Ucap Shera dingin.
Marten melirik Shera dari kaca spion atas. "Yaa...ya." jawab Marten malas. "Saya malas kalau harus pulang dulu. Lagipula semalam hanya dapat dua orang."
"Siapa kali ini?" Tanya Shera sambil lalu. Shera sedang mengecek beberapa email yang masuk.
"Hanya sampah perusahaan yang hanya bisa jadi benalu."
Shera melirik Marten sekilas. "Baguslah, berburuhlah lebih banyak lagi. Aku yang akan mengurus sisanya. Kamu membereskannya dengan rapih kan?"
"Tentu saja."
Tidak ada lagi percakapan setelah itu. Shera bukan membenci darah, hanya saja dia tidak suka jika berada satu mobil dengan mayat ataupun bagian tubuh yang lain. Indra penciumannya terlalu sensitif, apalagi di pagi hari.
Beberapa saat kemudian, shera baru saja meletakkan tasnya diatas meja ruang istirahat ketika seseorang merengkuh pinggangnya dari belakang. Shera hendak melepaskan tangan tersebut dari pinggangnya namun justru lilitan itu semakin erat memeluk perutnya.
"Sean, lepas." Ucap Shera tegas.
Sean menumpukan dagunya di pundak Shera lalu membenamkan wajahnya disana. Menghirup aroma Shera dipagi hari membuat energinya seolah terisi penuh. Sean menarik Shera kearah sofa lalu mendudukkan diri disana dengan Shera yang berada dalam pangkuannya.
Shera menggeliat berusaha melepaskan tetapi Sean justru semakin erat merengkuhnya.
"Sean. Rasanya tidak pantas jika ini dilakukan di area rumah sakit." Desis Shera tajam.
Sean semakin menarik tubuh Shera hingga merapat padanya. "Kalau begitu tinggalah di apartemenku." Bisiknya serak.
Shera berusaha keras menenangkan gemuruh hatinya sendiri. Dia tidak ingin terlena seperti dulu.
"Lepas Sean, aku masih ada pekerjaan penting." Ucap Shera tenang. Dia berusaha keras agar suaranya tidak bergetar.
"Aku tahu ini belum waktunya pergantian Shiftmu. Dan masih ada sisa dua jam lagi sebelum jadwal meetingmu dengan Kaivan dan tim kan? Aku tahu tentang jadwalmu semua Shera." Sean semakin membenamkan wajahnya diceruk leher Shera lalu menghirup kuat kuat seolah olah Sean ingin menyimpan aroma itu sebagai cadangan.
Dulu, Sean bahkan tidak pernah seperti ini. Sean perhatian dan baik padanya, tapi Sean tidak pernah se intens ini. Selama mereka dekat dulu, Shera lah yang lebih agresif menunjukkan kasih sayangnya. Tapi Sean tidak pernah menolak ataupun merasa risih dengan sentuhannya. Sean adalah lelaki pertama yang membuatnya mengenal apa itu mencintai. Dan lelaki pertama juga yang membuatnya patah hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE CHOICE "SHERA"
General FictionHidup kembali setelah kematian membuat Shera tidak mau meyianyiakan kesempatan kedua yang Tuhan berikan padanya. Bagai mimpi buruk bayangan itu terus terngiang dalam ingatannya. Shera terbangun dalam keadaan yang sangat berantakan. Tubuhnya terus me...