3. PERTENGKARAN

102 36 18
                                    

Pagi yang cukup kacau. Yume bangun kesiangan sementara Nina yang sibuk menyiapkan segala keperluannya, akhirnya menyerah naik turun tangga setelah usahanya membangunkan gadis itu tidak membuahkan hasil.

Nina bahkan sudah berjaga-jaga menelepon wali kelas Yume seandainya gadis itu terpaksa absen. Untungnya di detik-detik terakhir, Yume mengigau sampai terjatuh dari ranjang. Mau tak mau akhirnya ia terbangun sambil merintih kesakitan.

“Kita naik ini? Kau tidak bercanda, kan?” Yume melotot. Syok melihat sepeda yang terparkir di halaman rumahnya.

“Orang gila mana yang bercanda di saat-saat genting seperti sekarang?” balas Nina yang sudah duduk di atas sepeda bersiap mengemudi. “Tunggu apalagi?” semprotnya saat mendapati Yume tak ada pergerakan.

Walau rasanya sulit menerima semua ini, Yume hanya pasrah dan berharap bisa melewatinya. Demi membantu melebarkan sayap bisnis Sang Papa, Yume akan bertahan meski keadaannya jauh berbeda dari kehidupan yang ia jalani selama ini.

“Woaa, itu bukannya hutan bambu?” Yume bersorak sampai tanpa sadar nyaris membuat sepeda yang dikemudikan Nina oleng.

“Ini akibat kau lebih sering travelling ke luar negeri dibanding ke negara sendiri,” komentar Nina yang tetap fokus menyeimbangkan sepedanya karena Yume tidak bisa diam diboncengan.

(pemandangan di hutan bambu dll)

Sepoi angin dan suasana pedesaan yang hangat membuat Yume terkantuk-kantuk di boncengan. Nina berulang kali menggoyangkan tubuhnya setiap kali dagu Yume jatuh ke bahunya. Terkadang ia juga membunyikan lonceng sepedanya jika berpapasan dengan petani-petani bertopi lebar yang baru saja selesai bekerja di ladang.

Sampai akhirnya, sepeda yang dikemudikan Nina berhenti di depan bangunan sederhana bercat pucat. Beberapa bagian dindingnya sudah mengelupas. Gerbang yang tampak berkarat serta halaman luas yang sayangnya kurang terurus, membuat Yume urung turun dari sepeda.

“Yakin tidak salah alamat?” tanya Yume memastikan. Pupus sudah harapannya ketika Nina mengangguk yakin. “Aku takut sekalinya berteriak, sekolahnya akan rubuh.”

Nina menyentil dahinya sambil berpesan, “itu sebabnya kau harus berkelakuan baik di sini. Jangan samakan dengan sekolahmu yang lama.”

“Kenapa Papa tidak sekalian mendaftarkanku di sekolah terbuka saja?” gerutu Yume sambil menyampirkan tasnya ke pundak.

“Untuk berjaga-jaga, kutunggu di kantin. Jadi aku bisa langsung lari seandainya mendapat pemberitahuan kau mengacau di hari pertamamu di sini,” pesan Nina.

Sebelum Yume mengomel lagi, Nina cepat-cepat mengayuh sepedanya. Tinggallah Yume sendirian di depan gerbang. Matanya mengedar ke seluruh penjuru sekolah.

Parah. Benar-benar parah. Di halaman luar ada kandang kelinci. Ya, bisa dibilang bersih dan rapi. Tapi masalahnya, Yume alergi bulu kelinci. Ia harus menjaga jarak dan berjalan jauh-jauh agar alerginya tidak kambuh.

“Nagasaki-San!”

Seseorang memanggil nama belakangnya.

Yume menoleh. Mendapati sesosok wanita kurus dengan rahang tegas berjalan menuju ke arahnya. Mungkin salah satu guru di sini atau kepala sekolah.

“Selamat datang di SMA Yon Kiseki. Kenapa bisa dinamai Yon Kiseki? Yon berarti empat dan Kiseki berarti keajaiban. Kau mau tau apa saja keajaiban di sekolah ini?”

Tidak tahu harus bereaksi apa, Yume mengangguk kikuk.

“Pertama,” ucap guru itu sambil mengangkat telunjuknya. “Tentu sekolahnya. Karena sekolah ini sudah berdiri lebih dari lima puluh tahun meski pernah hampir tergusur oleh rencana-rencana pembangunan kaum elite.”

“Ah, pantas saja bangunannya terlihat hampir rubuh begini,” batin Yume sambil menggaruk-garuk tengkuknya.

“Kedua, tentu guru-gurunya yang sangat berkompeten.” Wanita itu menjelaskan penuh semangat. “Kau bisa melihat buktinya di depanmu ini,” lanjutnya membanggakan diri dengan penuh kepercayaan diri.

“Ketiga murid-muridnya yang berprestasi.”
Kali ini sepertinya ia kebingungan memberi bukti. Itu sebabnya langsung skip ke point ke empat. “Dan keajaiban yang ke empat, yaitu keajaiban itu sendiri.”

Alis Yume bertaut. “Maksudnya?”

Wanita itu tersenyum sekilas lalu menoleh ke arah lain. “Kau akan mengetahuinya nanti. Nah, sekarang Yoshida akan menunjukkan di mana kelasmu.”

Dari arah berlawanan, sesosok lelaki yang mungkin menjadi kebanggaan sekolah, melangkah tegap menuju ke arahnya. Rambut lelaki itu disisir rapi, seragamnya dimasukkan dalam celana sampai ikat pinggangnya terlihat.

“Dia ketua kelasmu. Dan aku kepala sekolah di sini. Haha. Aku hampir lupa memperkenalkan diri. Panggil aku Mrs.Misae, karena aku juga mengajar Bahasa Inggris,” ucap wanita itu lalu mempersilahkan Yoshida membawa Yume menuju kelas.

Sambil menyusuri koridor-koridor kelas, Yoshida menginformasikan bagaimana keadaan kelasnya nanti. Mungkin agar Yume tidak terlampau terkejut. Tapi sepertinya percuma. Langkah gadis itu tiba-tiba terhenti di samping jendela. Ada pemandangan yang mengusiknya.

Di deretan bangku belakang, ada murid yang tertidur. Sial. Lagi-lagi Yume diperlihatkan dengan mimpi buruk orang lain. Seharusnya Yume mengabaikannya saja. Namun hatinya turut tidak tenang.

Bayangan hitam besar. Ia membawa sesuatu. Semacam senapan? Atau..apa itu?

“Eh, tunggu!”

Yoshida panik begitu mendapati Yume mendorong pintu kelas tanpa permisi. Masalahnya, ada guru yang sedang mengajar. Perhatian murid-murid seketika tertuju ke arah pintu. Dari sana muncul sesosok gadis bergaya modis yang langsung berderap menuju kursi belakang.

“Yoshida? Dia murid baru itu?” tanya guru yang sedang mengajar.

Yoshida mengangguk panik. Ia masih berada di depan pintu. Ingin menghentikan Yume namun gadis itu sudah berdiri di samping bangku salah satu murid yang tertidur di atas meja. Wajahnya tenggelam dibalik tangannya yang terlipat dijadikan bantal.

“Aku harus membangunkannya,” kata Yume tegas. Tangannya terangkat. Terhenti sebentar di udara sebelum akhirnya mengguncang-guncang bahu murid yang tertidur itu.

“Hei! Cepat buka matamu!” Yume menendang kursinya hingga akhirnya kepala dan bahu si lelaki mulai bergerak.

Saat wajah lelaki itu terekspos, Yume mundur dua langkah. Ia ketakutan. Orang yang sama? Dia yang di bandara kemarin, kan?

Sementara Hiro memijat-mijat lehernya yang terasa kencang. Mimpi buruk itu terasa sangat nyata. Hiro bahkan sampai terbatuk-batuk karena di mimpinya tadi, lehernya dicekik seseorang. Ia hanya tertidur beberapa menit tapi rasa sesaknya masih tertinggal sampai terbangun.

Begitu matanya terbuka lebar, Hiro akhirnya dapat beradaptasi dengan keadaan di sekitarnya. Bahwa lagi-lagi terjadi kekacauan yang disebabkan oleh gadis yang sama, gadis yang dijumpainya di bandara kemarin.

“Oh, kau ingin memberitahuku jika ada murid yang tertidur di kelasku?”

Guru pengajar menghampiri Hiro dan Yume di meja belakang.

Hiro berdecak malas. Lelaki itu membenahi letak kacamatanya sembari menyisir rambutnya ke depan. Ia cepat-cepat berdiri lalu membungkuk, “maaf, aku benar-benar kelelahan,” ucap Hiro dengan suara bergetar. Ketakutan karena tertangkap basah tertidur di kelas oleh guru pengajar.

“Baiklah, aku mengerti. Akhir-akhir ini kau pasti sibuk belajar juga sering begadang untuk mempersiapkan olimpiade matematika bulan depan.” Guru pengajar berkata lembut seolah memakluminya. “Kalau begitu cuci mukamu agar tidak mengantuk lagi. Bagaimana pun kau tetap harus mengikuti pelajaran sampai selesai.”

“Saya mengerti,” jawab Hiro sembari menyuguhkan senyum hangat pada guru pengajar.

Berbeda ketika ia melewati Yume, senyum hangat itu memudar. Berganti dengan lengkungan sinis yang seolah-olah sedang mencemooh Yume.

“Meski terlihat cupu dan penurut, aku yakin ini bukan dirinya yang asli,” batin Yume. Tangannya terkepal di samping badan. “Kita dipertemukan lagi di sini, bukan kebetulan saja, kan?”

***

Yume No KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang