12. KEBOHONGAN

73 25 30
                                    

Hiro menegakkan bahunya ketika melihat mobil pamannya mendekat. Ia harus menunjukkan wajah garang. Seperti apa yang diajarkan oleh pamannya selama ini, jika dendam harus terbalaskan dengan cara apa pun. Bahkan meski caranya tidak manusiawi seperti apa yang dilakukannya pada Yume hari ini.

“Bagus, Hiro.. Bagus..” Taniguchi bertepuk tangan saat turun dari mobil. “Kau benar-benar bisa diandalkan.”

“Ini bukan hal sulit, Paman. Aku bisa melakukan sesuatu yang lebih dari ini.” Tatapan Hiro menerawang kosong. Tertunduk menatap rerumputan yang tertiup angin. “Manusia biadab itu juga harus merasakan apa yang terjadi padaku selama ini.”

Taniguchi tersenyum puas. Benar, pembalasan terbaik bukan dengan membunuh orang yang kau benci. Tapi melihat bagaimana orang itu hidup dalam penderitaan dan kehilangan terhadap orang yang disayang. Rasanya akan jauh lebih menyakitkan, bukan?

Seperti hidup tapi tak hidup. Menghabiskan sisa umur bersama kesendirian.

Dan itu yang dirasakan Hiro selama ini.

“Dia  pasti tidak menyangka ini terjadi pada putri kesayangannya.” Hiro tersenyum membayangkan bagaimana frustasinya Papa Yume ketika mendengar gadis itu tewas dalam kebakaran. “Dia harus  merasakan penderitaan yang ku alami selama ini.”

Ingatan Hiro terlempar ke kejadian belasan tahun silam. Dimana kedua orang tuanya tewas mengenaskan dalam kebakaran gedung yang disengaja itu. 

“Kau memang pintar seperti mendiang Papamu. Dia pandai menyusun strategi dan selalu menjadi juara kelas. Seharusnya ia tidak berakhir seperti ini. Dia bisa menjadi pengusaha sukses di masa depan.”

Hiro yang tak memiliki siapa-siapa, tentu bersyukur dibesarkan oleh pamannya. Hidupnya tercukupi. Segala kebutuhannya terpenuhi. Namun ia tidak pernah menyadari jika keberadaannya hanya dijadikan alat oleh sang paman yang ternyata tidak benar-benar tulus menyayanginya.

***

Nina bolak-balik mengecek ponselnya. Ia melangkah ke luar rumah, berjalan sampai ke depan gang, lalu kembali dengan perasaan kacau. Panik bercampur gelisah. Lagi-lagi Yume terlambat pulang. 

Seharusnya ia tetap menjemput Yume meski gadis itu berulang kali menolak. Tapi di rumah pun Nina memiliki banyak pekerjaan. Layaknya ibu rumah tangga, pekerjaannya tak ada habisnya dari pagi menuju ke pagi lagi.

“Ni...Na...”

Suara lemah itu terdengar dari balik punggung Nina ketika ia tengah memantau ke ujung jalan. Menunggu Yume pulang. 

Dan ketika orang yang ia tunggu sejak tadi muncul, Nina tidak bisa menahan tangis. 

Bagaimana tidak?

Yume muncul dengan kondisi yang sungguh memprihatinkan.  Seragamnya lusuh. Wajahnya kotor dan kehitaman. Yume juga terbatuk-batuk seperti sudah bernapas. Jalan pun pincang.

“Kau.. Apa yang terjadi padamu?” Nina memegangi lengan Yume. Memapah gadis itu berjalan ke dalam rumah. “Apa ulah Hiro lagi?”

“A..ir. Ambilkan air d..lu.” Yume kesulitan berbicara. Kerongkongannya seperti dilanda kekeringan panjang. Sakit. “Ha..us..”

Secepat kilat Nina masuk rumah, mengambil segelas air lalu kembali menghampiri Yume. Kau mau aku ambilkan makanan juga? Atau ku siapkan air hangat? Atau..."

Yume mengulurkan tangannya meminta Nina berhenti berbicara. Selama beberapa menit ia hanya duduk dan diam. Berusaha mengatur napasnya agar kembali stabil. Rasanya seperti baru saja melewati maut. Yume tidak tahu perbuatan baik apa yang pernah ia lakukan hingga Tuhan masih memberinya kesempatan hidup.

“Hiro.. Dia keponakan Taniguchi. Kau tahu pria itu?” tanya Yume setelah terdiam cukup lama.

“Direktur Roxy Galaxy Group yang sekarang?” Nina menaikkan sebelah alisnya. “Dia pemegang saham tertinggi di perusahaan Papamu.”

Sedetik kemudian, Nina membulatkan mata. “Apa mereka bersekongkol? Hiro dan pria itu? Tapi untuk apa? Kenapa mereka seperti ingin menghancurkan keluargamu?”

Yume tertegun sesaat. Meresapi kejadian yang  baru saja dialaminya. “Papa...” Mendadak lidah yume terasa kelu. Ia sulit mengungkapkan apa yang yang ada di kepalanya. “Papa Hiro..”

“Ada apa yume?”Nina mendesak.

“Mereka dulu bersahabat. Tapi Hiro bilang, Papa berkhianat.” Rasanya Yume tak sanggup melanjutkannya. Tapi ia harus membagi sedikit bebannya karena tak kuat memikulnya sendiri. “Hiro bilang, Papa yang menghabisi nyawa orang tuanya.”

Nina menggenggam tangan Yume. Lalu menarik gadis itu untuk memberinya pelukan. Sesekali ia menepuk pelan pundak Yume. Seolah ingin mengatakan bahwa Yume tidak sendiri. Bahwa Yume memiliki seorang sahabat sekaligus keluarga yang akan selalu berada di sampingnya sekali pun Yume berada di titik paling bawah hidupnya.

“Kita bahas ini besok saja. Sekarang lebih baik kau makan lalu beristirahat.” Nina membantu Yume berdiri dari kursinya.

“Kau tidak menyuruhku mandi dulu? Biasanya kau mengomel jika aku langsung tidur setelah bepergian. Sekarang ini aku kotor sekali. Tapi kau...”

“Kali ini ada dispensasi,” tukas Nina sembari melingkarkan lengannya pada Yume. “Yume.. Jangan ceritakan masalah ini pada siapa pun. Jangan gegabah mengambil tindakan. Kita harus menyusun strategi untuk  ,mengungkap kasus ini.”

Yume terdiam. Namun hatinya mengiyakan. Bahkan untuk menggerakkan kepalanya saja ia sudah tidak punya tenaga. Badannya serasa remuk. Ia teringat bagaimana perjuangannya keluar dari gudang  itu dengan tangan terikat. 

Untungnya, kakinya bebas bergerak ke sana kemari. Benar kata Hiro. Sebelum lelaki itu benar-benar meninggalkannya, Hiro sempat berpesan sesuatu padanya. Dan ternyata itu sebuah petunjuk.

Jadi apa Hiro sebenarnya tidak benar-benar ingin menghabisinya?

****

Hal buruk justru menimpa Hiro. Di saat Yume mendapat dukungan penuh dari sahabatnya, lelaki itu harus siap menerima hukuman dari pamannya. Tidak tanggung-tanggung, sebuah tamparan melesat di punggungnya serta tonjokan keras menghantam perut lelaki  itu hingga jatuh tersungkur.

“Bodoh!!” Kemarahan besar mengguncang Taniguchi. “Riki bilang tak ada jasad siapa pun di sana. Itu berarti bocah perempuan itu berhasil kabur?”

“Tapi aku sudah menjalankan perintahmu sesuai rencana. Kau juga melihat sendiri bagaimana gudang itu terbakar.” Hiro menjelaskan tanpa sedikit pun emosi. 

Karena seperti yang sudah-sudah, setiap kali Hiro mencoba melawan, Pamannya akan kembali mengungkit jasa-jasanya selama ini. Mau tak mau akhirnya Hiro kembali menurut. Meredam kemarahannya dengan mengepalkan tangannya. Bahkan meski kuku-kukunya menancap di telapak tangan, rasa sakit itu tak lagi dirasa.

“Maaf, Tuan. Mungkin pintu gudangnya belum terkunci dengan rapat.” Kyohei berdiri menghadang di antara Taniguchi dan Hiro. “Biar saya yang bertanggung jawab atas kesalahan ini.”

“Oh, maumu begitu? Baiklah..” Taniguchi bersiap melesatkan pukulan. 

“Jangan...!” Dengan sigap Hiro menjadi tameng di depan Kyohei. “Dia tidak sekuat aku. Dan sekalinya terluka, lukanya susah mengering. Pulihnya juga lama. Jadi aku mohon, jangan melampiaskan amarahmu padanya.”

Taniguchi menarik napas dalam-dalam. “Kalian beruntung hari ini. Aku sedang bahagia karena besok penyambutan posisi baruku sebagai Direktur Roxy Galaxy Group. Tapi jika kalian sampai gagal lagi, aku yang akan menghabisi bocah perempuan itu dengan tanganku sendiri.”

Ada ketakutan yang menjalar di hati Hiro. Entah ketakutan akan keselamatannya sendiri atau kini ia juga mengkhawatirkan orang lain? Hiro menoleh ke arah Kyohei yang bersimbah keringat. Lalu tiba-tiba tanpa bisa dicegah, bayangan wajah Yume muncul di benaknya.

***

Yume No KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang