14. BANTUAN

62 25 71
                                    

Yume menatap miris beberapa lembar uang yang masih tersimpan di dompetnya. Kalau dihitung-hitung hanya cukup untuk uang makan selama ia berada di Tokyo. Perkara di mana ia menginap, pikirkan nanti. Yume bahkan juga sudah siap jika terpaksa harus menjadi gembel.

“Ada kelas tambahan? Pagi sekali..” tanya Nina begitu melihat Yume keluar kamar dan sudah berpakaian rapi.

“Iya. Aku juga mungkin pulang lebih sore.” Yume berdusta. Sebisa mungkin ia menghindari kontak mata dengan Nina. Karena sebenarnya gadis itu paling sulit berbohong apalagi dengan orang yang sangat dekat dengannya. “Aku berangkat dulu, ya!”

“Tunggu!”

Seruan Nina membuat jantung Yume berdegup kencang. Apa Nina tahu jika ia sedang berbohong?

Nina melangkah menghampiri gadis itu lalu berdiri di depannya. “Kau....” Jeda sesaat, Nina meneliti Yume dari ujung rambut sampai kaki. “Kau memakai parfumku, ya?”

Hati Yume mencelos. Untung saja bukan seperti yang ia bayangkan. “Haha.. Iya..Parfumku habis.”

Nina mengangguk-angguk kemudian bertosh-ria dengan Yume sebelum melepasnya pergi. Dari yang terlihat sekarang, memang tak ada yang aneh. Yume melangkah riang menuju sekolah seperti yang dilakukannya setiap pagi. Namun begitu ia memastikan Nina sudah tidak mengawasinya dari teras rumah, Yume berbelok ke arah lain.

Tujuannya bukan lagi ke sekolah, melainkan ke bandara.
Tujuannya bukan lagi untuk mncari ilmu, tetapi ingin mencari bukti dari kasus belasan tahun silam.

Pesawat mendarat dan mengangkasa silih berganti. Membawa sejuta harapan dan kenangan dari masing-masing insan. Bandara Kansai, selalu menjadi saksi kepiluan bagi mereka yang tengah berada di ujung perpisahan.

Namun itu tidak berlaku bagi gadis berwajah mungil yang duduk sendirian di kursi tunggu. Matanya terfokus pada selembar foto di tangannya. Tatapannya berapi-api. Foto masa kecilnya bersama Sang Papa seolah memberinya kekuatan lebih.

Sudah tiga puluh menit lamanya Yume menunggu di dekat pintu masuk keberangkatan. Namun gadis itu masih enggan beranjak dari sana. Meskipun ia menyadari Hiro tak memberinya kepastian, tapi entah sebab apa Yume memiliki harapan yang besar jika lelaki itu akan datang untuk menemaninya terbang ke Tokyo.

“Berharap pada lelaki adalah pekerjaan yang sia-sia,” ucap Yume pada dirinya sendiri.

Baiklah. Yume sudah membulatkan tekad. Ia bisa melakukannya sendiri. Tak perlu menunggu pertolongan dari orang lain. Asal mau berusaha, keajaiban pasti akan datang.

Yume melewati pintu keberangkatan, berhenti sebentar di bagian pengecekan kemudian bersama penumpang yang lain bergiliran memasuki pesawat.

“Minggir.”
Baru saja Yume menemukan tempat duduknya tepat ketika seseorang menyenggol kasar lengannya. Lelaki itu melewati Yume lalu duduk di kursi dekat jendela. Tepatnya di sebelah kursi Yume.

“Ya! Kau... Bagaimana bisa?” Mata Yume berbinar-binar melihat Hiro yang kini duduk di sampingnya.

“Segalanya akan menjadi mudah jika kau bergelimang harta,” tukas Hiro sok. “Aku juga ada urusan di Tokyo. Jadi tidak perlu sebahagia itu.” Hiro mendorong pelan dahi Yume dengan telunjuknya.

“Kita ada urusan keperluan masing-masing.”
Senyum terlukis di wajah Yume. Gadis itu menyandarkan bahunya ke kursi. Duduk tenang sembari memejam. Rasa kantuk mulai menjalar. Namun sial, Yume tanpa sengaja menoleh ke kursi penumpang lain.

Di baris kursi ketiga, ia melihat mimpi buruk dari penumpang laki-laki berkacamata hitam.

“Ah, baru saja aku mau tidur.” Tangan Yume menggenggam kursi dengan erat. Ia mencoba mengalihkan tatapannya. Tapi sudah terlanjur melihat dan jadi penasaran. “Oh, dia baru bercerai dengan istrinya. Sedang berebut hak asuh anak.”
Hiro yang mendengar Yume berbicara sendiri, tak tahan berkomentar, “kau bisa menjadi penulis handal. Bahkan di dalam pesawat pun kau bisa mengarang dan berimajinasi.”

Yume No KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang