28. HARAPAN

58 22 25
                                    

"Daripada hanya berakting, kenapa tidak sungguhan saja?" bisik lelaki itu tepat di telinga Yume.

Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Hiro mendekat. Ia meletakkan tangan kanannya di depan mata Yume untuk menghalangi pandangan Yume. Perlahan bibirnya mendekat lalu mengecup lembut bibir Yume.

Dunia seolah membeku. Yume merasa syaraf-syarafnya lumpuh. Ciuman tanpa direncanakan. Ada penyesalan yang menyusup hatinya ketika ia tak sempat membalas ciuman itu dan hanya berdiri seperti patung.

Cetek

Hiro menjentikkan jarinya di depan wajah Yume karena gadis itu seperti hilang kesadaran. "Ranselmu tinggal di sini saja," perintah Hiro tanpa bersuara.

Yume hanya manggut-manggut. Seolah baru saja terkena mantra sihir, mendadak ia amnesia. "Tadi itu apa? Kenapa cepat sekali?" batin Yume sambil tersenyum-senyum seperti orang gila.

Sementara Hiro sudah kembali fokus dengan misi utama mereka. Wajahnya memang terlihat biasa saja. Seakan-akan ciuman itu tidak berarti apa-apa untuknya. Namun siapa sangka ketika ia berjalan membelakangi Yume, lelaki i itu tersenyum dengan pipi memerah. Percaya atau tidak, ini ciuman pertama seumur hidupnya. Fist kiss!

"Kita tunggu di halaman rumahnya saja."  Yume mengangguk sekali. Keduanya tampak seperti teman yang bermusuhan karena berjarak. Padahal Yume hanya masih malu berdekatan dengan lelaki itu. Jangankan bersebelahan dengan Hiro, memandang wajahnya saja Yume tak berani.

"Ehem..." Yume pura-pura batuk. Ia berusaha fokus pada tujuan utamanya. "Lalu apa yang harus kita katakan pada istrinya nanti? Apa dia akan menyambut baik kedatangan kita?"

"Jangan terlalu overthinking dengan hal-hal yang belum tentu terjadi. Pikirkan saja apa yang ada di hadapanmu sekarang."

Hiro melirik Yume yang terlihat kerepotan membawa dompet dan barang-barang lainnya. Pasalnya, ransel gadis itu ditinggal begitu saja di tempat persembunyian tadi.

"Masukkan saja ke tasku." Hiro membuka resleting tasnya. Namun Yume malah tertarik pada hal lain. Benda yang menggantung di tas lelaki itu.

"Ini apa?"

"Gantungan tas." Hiro menjawab asal.

"Maksudku, gantungan tasmu ini apa? Menyebalkan sekali. Aku juga tahu kalau ini gantungan tas!"

Hiro menanggapi sinis. "Kau tidak tahu ini apa? Omamori."
Kerutan di dahi Yume semakin berlipat. "Omamori?"

"Ah, pantas saja kau tidak tahu apa-apa soal budaya Jepang. Kau menetap lama di USA, ya? Atau Australia? Pantas saja tingkahmu seperti kanguru."

Lagi-lagi keduanya berdebat. Yume melengos kesal. "Kalau tidak tahu apa-apa jangan sok tahu!"

Tapi rupanya Hiro tidak benar-benar serius mengatai Yume. Ia hanya senang menggoda gadis itu. Karena ketika  marah, wajah Yume menjadi menggemaskan.

Dari sudut matanya Yume melihat tangan lelaki itu terulur. Menyodorkan sesuatu padanya. "Ambil. Kau mau ini, kan?"

"Yaa, bentuknya indah, sih. Tapi sebenarnya ini apa?" Yume menerima omamori pemberian Hiro lalu menatapnya sambil tersenyum. "Seperti kantong untuk menyimpan uang receh."

"Itu jimat keberuntungan," jelas Hiro sembari mengingat bagaimana jimat itu ada padanya. "Dari mendiang ibuku."

Spontan Yume mengembalikan omamori itu pada Hiro. "Kalau begitu aku tidak mau menyimpannya. Ini, kan, kenang-kenangan dari ibumu."

"Aku tidak memerlukannya lagi." Tatapan Hiro menyorot dalam ke Yume. "Karena aku sudah mendapatkan keberuntungan terbesar di dalam hidupku."

Yume yang tidak menyadari Hiro menatapnya sangat dalam, malah asyik memandangi omamori itu.

Yume No KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang