11. KESEMPATAN

59 28 19
                                    

Yume tidak tahu berada di mana. Ruangan itu tak memiliki cahaya. Namun ia  tahu saat ini ia ada di ruangan kosong yang luas karena suaranya memantul melalui jendela-jendela yang tertutup tirai.

“Tolong!” Yume menjerit. Sesaat kemudian ia merasakan perih di sekitar lehernya. “Jadi aku masih hidup?”

Benar. Hiro ternyata tidak benar-benar membunuhnya. Namun belum tentu nanti, besok atau seminggu kemudian, bisa saja lelaki itu berubah pikiran. Tapi sekarang Yume ada di mana? Kenapa gelap sekali? Tak ada orang pula.

“Oh, Tuan Putri sudah bangun ternyata.”

Sungguh rasanya jauh lebih baik ditinggal sendiri daripada harus berhadapan dengan Hiro lagi. Jantung Yume kembali berdebar kencang. Debaran penuh ketakutan. Karena setiap kali berada di dekat Hiro, nyawanya terancam.

“Ini tidak adil! Seharusnya satu lawan satu! Bukannya dua lawan satu!” Yume memekik kencang.

Dua lelaki di depannya tertawa remeh.

“Kau mau meminta bantuan pada temanmu itu? Siapa namanya?”

Hiro melirik Kyohei. yang langsung menyahut, “Nina Kanazawa. Dia berasal dari kota kecil di Prefektur Osaka. Hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama.”

Kyohei menyebutkan detail identitas Nina layaknya google yang mengetahui segalanya.

Yume mematung seketika. Hiro tidak main-main. Lelaki itu sudah mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan dirinya.

“Kau ingin aku menghubunginya? Memberitahunya jika nyawa Tuan Putri ini sedang terancam?” tanya Hiro. Bersiap mengeluarkan ponselnya.

“Jangan melibatkan Nina atau siapa pun! Aku yang akan bertanggung jawab sendiri!” sahut Yume dengan berani.

Setelah memasukkan ponselnya, Hiro mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah korek api. Dengan nyala api yang kecil ia mendekati Yume. Keduanya bertatapan di antara nyala api itu.

“Butuh waktu belasan tahun untuk mengobati trauma itu.” Hiro mengarahkan korek apinya ke wajah Yume. “Kau tahu bagaimana rasanya kenangan buruk itu menjelma menjadi mimpi buruk yang sangat menakutkan dan mendatangiku setiap harinya?”

“Aku tahu! Aku sangat tahu!” Yume menimpali tanpa rasa takut. “Kobaran api, bangunan yang terbakar, anak kecil yang menangis histeris di tengah kobaran api itu.”

Kyohei tampak terkejut, Matanya melotot dan siaga mengawasi gerak-gerik Yume. “Kenapa dia bisa tahu? Kau yang mengatakannya? Kau sudah menceritakan detailnya?”

“Aku sudah bilang aku melihat semuanya. Di dalam pesawat, saat kita bertemu pertama kali.. Aku melihat semuanya dalam mimpimu!” jelas Yume yang berusaha mati-matian meyakinkan kedua lelaki itu. “Kenapa kalian tidak mempercayaiku? Sejak awal aku sudah berjanji di dalam hati untuk membantumu.”

“Aku tidak butuh bantuanmu.” Hiro menjawab ketus. “Melihatmu menderita di sekolah, melihat banyak orang yang membencimu, dan sekarang nyawamu ada di tanganku.. itu belum cukup membayar apa yang telah dilakukan Papamu pada keluargaku selama ini.”

“Sudah kubilang berulang kali. Papaku tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu. Membunuh orang?” Yume mendesis tersenyum kecut. “Bahkan ia menangis saat ikan peliharaannya mati. Mana mungkin ia punya keberanian membunuh orang?”

“Kau tak tahu apa-apa, Yume!” Hiro menekan dagu Yume dengan telunjuk dan ibu jarinya. “Papamu orang yang serakah dan tamak. Uang membutakan hati nuraninya!”

Yume mencoba mengulur waktu sembari mencari cara melepaskan ikatan di tangannya. “Kalau saat itu kau masih kecil, bagaimana bisa kau tahu detail ceritanya? Kau hanya mendengar ceritanya dari orang lain, kan?”

Yume No KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang