5. JEBAKAN

88 35 20
                                    

Glek.

Yume membalikkan badannya yang gemetar dan menemukan Hiro berdiri tepat di depannya. “Hi..ro..?”

“Sekarang kau sudah mengetahui apa yang ingin kau ketahui. Aku harus bagaimana agar kau tutup mulut?” tanya lelaki itu dengan tatapan penuh ancaman.

“Mmm, eh, aku akan tutup mulut secara sukarela.” Yume memperagakan mengunci mulutnya sendiri. “Jadi kau tidak perlu melakukan apa-apa.”

Seringai kecil mencuat di bibir Hiro. Alisnya menukik seperti puncak gunung api yang bersiap meledak. “Sayangnya aku tidak mempercayaimu. Jadi aku harus melakukan sesuatu untuk memastikan rahasiaku aman.”

Hiro mengangkat tangan kanannya seperti hendak memukul Yume. Ajaibnya gadis itu bisa menangkis tangan Hiro sebelum benar-benar menyentuh bagian tubuhnya. Gerak refleks Yume yang cepat seolah menunjukkan jika ia sudah terbiasa melindungi dirinya sendiri.

“Oh, rupanya kau jago beladiri?” sindir Hiro sembari tersenyum mengejek. “Sayangnya, kemampuanmu itu tidak bisa membantumu sekarang. Kau tahu, kan, lawanmu sekarang ini siapa?”

Yume mundur dua langkah. Tenggorokannya kering. Tak bisa berkata apa-apa lagi saking takutnya. “Kau.. sungguh-sungguh anggota gangs..ter?”

“Asal kau tahu, aku jauh lebih mengerikan dari apa yang kau bayangkan,” jawab Hiro sembari melangkah maju memojokkan Yume.

Kini gadis itu benar-benar tidak bisa kabur. Ujung belakang kakinya menyentuh dinding. Itu artinya,  posisinya sudah terjepit.

“Tidak ada pilihan lain, aku harus menghabisisimu.”

Tangan Hiro kembali terangkat. Kali ini tujuannya ke leher Yume. Jari-jemarinya yang kuat langsung mencekik leher gadis itu. Sangat kuat. Seolah mendapat mangsa yang telah lama ia buru, Hiro tidak akan serta merta melepaskannya.
Uhuk..Uhuk!

Yume mendorong kuat tangan Hiro. Berusaha menyingkirkannya dari lehernya. Ia merasa sangat kesakitan sampai-sampai tidak bisa bernapas. Bahkan sekarang ia tak mampu lagi berteriak karena urat-urat di lehernya seperti terikat tali yang kencang.

“To..long..” Yume memohon sambil merintih.

Bulir air penuh kesakitan menyembul di ujung matanya. Tak hanya itu, wajah Yume juga sangat pucat. Yume berpikir, dalam hitungan detik ia bisa mati jika tak ada pertolongan.

“Ah, sial!”

Sorot lampu dari luar pintu membuat Hiro gelagapan. Spontan ia mendorong tubuh yume lalu melompat ke kolam.

Seorang pria masuk untuk mengecek keadaan di dalam. Namun penjaga sekolah itu hanya berdiri di depan pintu. Senter yang ia bawa tidak sampai menyorot ke seluruh penjuru ruangan. Ia juga tidak menyadari gelembung-gelembung kecil yang terlihat di bagian atas kolam.

Gelembung-gelembung itu berasal dari Yume yang tak kuasa menahan napas. Apalagi Hiro menekan kepalanya hingga membuat Yume merasa semakin sesak. Paru-parunya dipenuhi air.

“Tuhan, tolong aku.. Beri keajaiban untukku..”

Yume memohon setulus hati. Memang tak bersuara, tapi pasti Tuhan bisa mendengar doanya, kan?

Dua matanya beradu dengan mata tajam Hiro. Seolah menyimpan dendam terbesar, Hiro benar-benar ingin menghabisinya. Yume tidak tahu ia salah apa. Tapi sebenernya sejak awal bertemu, ada tatapan penuh kebencian dari mata lelaki itu.

Jadi, apa kini Yume hanya bisa pasrah?

Lama kelamaan tubuh Yume melemas. Awalnya ia mencoba bertahan dengan injak-injak air. Karena biasanya  meski tak bisa berenang, Yume masih mampu menepi dengan usaha dan tenaganya.

Tapi kali ini situasinya berbeda. Hiro sengaja membekap mulutnya dan menekan kepalanya hingga membuat gerak gadis itu terbatas.
Pandangan Yume mendadak gelap. Kosong. Ia merasa tubuhnya menjadi ringan sehingga ketika akhirnya jatuh ke dasar kolam, matanya pun sudah terpejam.

***

Kurang lebih satu kilometer jauhnya,  seorang gadis tampak kebingungan di pinggir sawah. Ia berjongkok sambil mengutak-atik sepedanya. Cemas bukan main. Seharusnya ia sudah sampai di sekolah Yume, tapi ban sepedanya tiba-tiba bocor.
“Yume.. semoga kau baik-baik saja..”

Nina, asisten pribadi Yume,  berulang kali mencoba menghubungi gadis itu. Namun jangankan mendapat respon, ponsel Yume ternyata mati.
Nina terlonjak kaget mendengar suara klakson yang kencang dari balik punggungnya.

"Hai, Nona! Kau butuh tumpangan?”

Setelah dikejutkan oleh suara klakson, Nina dikejutkan dengan hal lain.

“Kau.. yang di bandara itu, kan? Besama teman anehmu, itu?”

“Ralat. Bukan Hiro yang aneh. Tapi temanmu itu. Mana ada orang normal yang berteriak-teriak histeris di dalam pesawat? Atau dia baru pertama kali naik pesawat? Norak sekali..”

Lelaki di depan Nina itu, ternyata banyak omong. Tidak seperti Hiro yang dingin dengan orang baru. Kyohei sedikit lebih ramah namun juga menyebalkan.

“Sudah pergi sana. Moodku sedang buruk. Sebelum aku marah, segeralah enyah dari hadapanku.” Nina menekan-nekan jemarinya hingga menimbulkan suara 'kretek-kretek'.

“uuuh, takut..” Kyohei tertawai mengejek. “Kau pasti butuh bantuan, kan? Oh, atau temanmu yang aneh itu, yang sebenarnya butuh bantuan?”

Senyum aneh Kyohei membuat Nina semakin tidak tenang. “Jangan macam-macam. Kau tahu apa soal Yume?”

“Dia berada di kelas yang sama dengan Hiro.” Kyohei menjawab cepat. Siku tangannya menumpu di jendela. “Kau tidak tahu kalau mereka berada di satu kelas yang sama, kan?”

Hiro.. Yume? Bagaimana bisa ini terjadi? Tidak mungkin.

“Aku sudah memberimu tumpangan tapi kau tolak. Mohon maaf, tidak ada tawaran kedua.”

Kyohei bersiap mengemudi lagi. “Saranku.. kau cepat-cepat menemui Yume. Kau tidak mau temanmu kenapa-kenapa, kan?”

Tanpa pikir panjang, Nina membanting sepedanya. Ia berlari seperti orang kesetanan menuju sekolah Yume. Tidak peduli apa pun rintangannya, ia harus cepat bertemu Yume untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.

***

Yume No KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang