19. PENGKHIANATAN

54 21 22
                                    

“Kau... ”Yume menghujamkan tatapan sinis ke Hiro.

Lelaki itu langsung peka. “Bukan aku villainnya.”

Giliran Yume dan Hiro menatap Kyohei. Namun si tersangka  juga mengelak. “Kau tahu aku hanya menurut pada Hiro, kan? Bahkan aku berani melawan Taniguchi demi melindunginya.”

Terjawab sudah tanda tanya di kepala Yume saat Nina bergerak mendekati pria-pria itu. Senyum ramahnya berubah licik. Dengan bangganya ia berujar, “aku yang memberitahu pamanmu jika kalian ada di sini.”

Tatapan Hiro seketika terpusat ke Yume. Pasti rasanya sakit sekali dikhianati orang yang benar-benar dipercaya. Bagaimana nanti Yume menghadapinya?

“Ta..pi kena..pa?” tanya Yume tergagap saking syoknya.

“Uang.” Nina menjawab tanpa basa-basi. “Simpel. Intinya aku butuh uang.”

Mungkin Yume tidak pernah mengira. Sewaktu ia pergi lebih dulu ke Osaka, Taniguchi mengirim orang-orang suruhannya untuk menemui Nina. Negosiasi berlangsung cukup alot sampai akhirnya sebuah perjanjian disepakati.

“Tuan Hiroshima, Kyohei, dan juga Nina. Kalian diminta untuk segera masuk mobil.”

Hiro tahu jika ia melawan pasti akan kalah. Meski Kyohei membantunya, ini tidak akan berhasil. Pamannya akan mengirim orang lebih banyak. Dan karena sekarang ia berada di wilayah pedesaan yang jarak antar rumahnya berjauhan, orang-orang itu pasti berani menyerangnya.

Yume yang biasanya banyak omong dan ceria, kini terlihat lemas. Ia terduduk di kursi teras. Bulir-bulir air mata mulai membasahi pipinya. Rasanya sakit sekali. Hatinya seolah teriris. Setelah ini bagaimana ia berjuang sendiri?

Urat-urat di leher Hiro seketika mengencang. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang berusaha disembunyikan. Ini kali pertama Hiro melihat gadis itu menangis. Bahkan sekejam apa pun perlakuan Hiro pada Yume di masa lalu, tak sekali pun Hiro melihatnya menangis.

Dicekik, disekap, bahkan Yume juga pernah nyaris mati. Gadis itu mampu menghadapinya dengan tegar.

“Kalau kau hancur, aku juga bisa hancur. Kau tidak ingin itu terjadi, kan?” bisik Hiro lantas merapat ke Yume ia menyelipkan selembar kertas yang dilipat menjadi empat bagian ke tangan Yume. “Simpan baik-baik.”

Bersama Kyohei dan Nina, lelaki itu digiring paksa masuk ke mobil. Kaca mobil yang sangat gelap membuat Yume tak bisa melihat wajah Hiro lagi. Ditambah kini penglihatannya sedikit buram karena dibanjiri air mata.

“Ini mimpi buruk, kan?” Yume  bertanya pada dirinya sendiri. “Selama ini aku tidak pernah bermimpi buruk, apa sesakit ini rasanya?”

Beberapa menit berlalu, Yume hanya bisa teriak di tempatnya. Ia memasukkan kertas pemberian Hiro ke saku jaketnya. Pikirnya akan lebih aman jika membukanya nanti. Gadis itu akhirnya bangkit dari kursinya. Berjalan tertatih menuju sepeda yang tadinya ia tumpangi bersama Hiro.

Yume memandangi dua sepeda di depannya. Sepi. Rasanya benar-benar kosong. Baru saja beberapa menit yang lalu ia ditemani orang-orang yang menjadi support systemnya. Tapi sekarang ia benar-benar sendiri. Tak ada teman yang menemaninya berjuang.

***

Langkah Yume terasa berat. Jalannya tertatih saat memasuki Bandara Kansai. Bukan kakinya yang pincang tapi separuh hatinya hilang.

Tak pernah ia membayangkan sebelumnya. Nina... sosok yang menemaninya bertahun-tahun, sosok yang menjadi orang terdepan yang membelanya, ternyata menyimpan kebohongan.

Sudah berapa lama? Yume tidak tahu. Jadi selama ini gadis itu hanya bersandiwara? Nina tidak benar-benar tulus.

Yume mengangguk-angguk mencoba memahami. Di keramaian itu ia mencoba menahan tangisnya. “Wajar...wajar saja. Sekarang keluargaku terpuruk. Sudah beberapa minggu ia tidak menerima upah dari Papa. Bahkan malah aku yang sering merepotkannya dan berhutang padanya.”

Yume No KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang