2. Insiden Ceftriaxone

3.8K 336 1
                                    

Manusia dan kesalahan adalah dua hal yang sulit dipisahkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manusia dan kesalahan adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Salah itu manusiawi. Namun poin yang sebenarnya paling penting dari manusia dan kesalahannya adalah kemampuan menghadapi kesalahan itu.

Banyak cara dalam menghadapi kesalahan. Beda manusia, beda juga metodenya. Ada yang langsung introspeksi, ada yang mengatasinya dalam diam, atau ada juga yang pengecut dan melarikan diri. Aku jelas bukan tipe manusia terakhir. Sebisa mungkin, aku akan menghadapi kesalahan yang aku buat. Biar kecil ataupun besar. Saat ini juga begitu, aku juga ingin menghadapi kesalahanku.

Masalahnya, aku bahkan tak tau salah apa. Aku tak paham mengapa Dokter Talaga mengusir aku dari ruang operasi. Aku tak paham mengapa tatapannya marah, seolah api membakar bola matanya. Aku sungguh tak tau.

Sekeras apapun aku mencoba memikirkan apa kesalahanku, aku tak kunjung menemukan jawabannya. Aku bahkan tak punya kesempatan untuk bertanya. Dan di sinilah aku ... berdiri di depan OK 3 dengan perasaan gelisah. Sudah nyaris satu jam.

Untungnya aku tampak seperti invincible di IBS ini. Di antara perawat yang berlalu lalang, aku seolah tak terlihat. Tak ada yang bertanya atau mencoba bicara denganku.

Ya Allah ... apa ini hari dimana Engkau memutuskan untuk memberi azab atas dosa-dosaku selama ini?

Brak! Begitu pintu OK 3 terbuka, aku otomatis pasang sikap siaga. Dokter Talaga keluar dari ruangan itu, masih dengan nuansa angker yang tadi ditunjukkannya. Seolah asap hitam mengepul mengikutinya, bak malaikat maut yang dapat mencabut nyawaku kapan saja.

Aku langsung mengejar Dokter Talaga yang berjalan cepat menggunakan kakinya yang panjang itu. Pokoknya aku harus tau apa salahku, rasanya tak adil diusir tanpa tau apa yang salah.

"Mohon maaf, Dokter. Mengapa saya diminta keluar dari ruang operasi ya, Dok?" tanyaku, berusaha sesopan mungkin meski napasku terengah-engah karena mencoba menyamai langkahnya.

"Diminta keluar? Kamu diusir, bukan diminta keluar," ucapnya dingin. Ucapan itu menjelma bak jarum-jarum kecil yang sudah dibekukan, kemudian dihempaskan sampai menusuk seluruh permukaan jantungku.

"I-iya, Dok, itu maksudnya. Kenapa, ya, Dok? Mohon maaf saya tidak tau alasannya."

Seketika Dokter Talaga menghentikan langkahnya. Aku ikut berhenti juga. Ia kemudian berbalik menghadapku. Tatapannya masih membara, bahkan lebih membara dari sebelumnya. Seolah aku baru saja menyiramkan bensin pada api yang nyaris padam.

"Kamu nggak tau salah kamu apa?" tanyanya, sinis.

Dunia rasanya terhenti saat itu juga. Bahkan orang-orang yang berlalu lalang di IBS pun seolah memelankan langkahnya, memusatkan perhatiannya kepada aku dan Dokter Talaga.

"Kamu dengar perintah saya tadi?" tanya Dokter Talaga.

"Dengar, Dokter. Dokter memerintahkan untuk memastikan pasiennya siap sebelum dianestesi, Dok," jawabku dengan suara yang semakin lama semakin ciut.

5 Criteria To Be My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang