Bengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit.
Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana:
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Etika, etika, dan etika. Itulah yang selalu menjadi landasan di dunia kedokteran. Bahkan dosenku waktu pre-klinik pernah memberi analogi bahwa pengetahuan itu seperti angka nol sementara etika adalah angka satu. Jadi mau sebanyak apapun pengetahuan, tanpa etika tak akan ada value-nya. Tanpa angka satu, angka nol sebanyak apapun hanya akan bermakna nol. Sepenting itulah etika di dunia kedokteran.
Badmouthing residen di belakang jelas melanggar etika. For sure. Firasatku buruk. Saking buruknya, aku tak bisa tidur semalaman.
Sialnya lagi, aku merasa balasan terakhirku pada Dokter Mia--yang cuma ia baca--memperburuk segalanya.
Mohon maaf, Dokter Mia. Saya tidak bermaksud, Dok 🙏🏻
So dumb. Memang orang bodoh mana yang akan percaya kalimat itu setelah aku dengan jelas badmouthing di pesan sebelumnya?
Bahkan masalahku dengan Dokter Talaga belum selesai, kini timbul masalah yang lebih besar. Masalah yang bisa menghancurkan karirku dalam sekali kedip.
Yang semakin menjadi masalah adalah fakta bahwa Dokter Mia bersikap seolah tak terjadi apa-apa di antara kami. Seolah pesan bodoh itu tak pernah ia terima dan baca satu hari sebelumnya. Ia sama sekali tak menyinggung soal pesan itu, ia juga tak memberiku silent treatment. Poli hari ini berjalan seperti biasa, meski hatiku ketar-ketir setiap detiknya.
Setelah poli, kami visite. Tak cuma ada aku dan Dokter Mia, ada Sherly dan Malika. Sisanya ikut residen lainnya.
"Sherly, Malika, kalian boleh pulang. Bengawan, kamu ikut saya kembali ke poli ya. Ada yang mau saya bicarakan."
Tamat sudah riwayatku.
Sherly dan Malika tampak bertanya-tanya. Tapi mereka langsung pulang tanpa membantah. Dan di sinilah aku ... duduk berhadapan dengan Dokter Mia, di tengah ruang poliklinik kulit dan kelamin yang dinginnya seperti di Kutub Utara. Entah karena setting AC-nya yang terlalu dingin, atau suasananya.
"Kamu se-nggak suka itu sama saya?" tanya Dokter Mia, hit the spot.
Rahangku rasanya kaku, tak bisa diajak bicara. Lidahku pun kelu, tak tau harus menjawab apa.
"B-bukan begitu, Dok ...."
Aku memang tak membenci Dokter Mia. Demi Tuhan. Aku hanya lelah karena ia memberi seabrek tugas padaku tanpa kira-kira.
"Dari pesan kamu kemarin, saya menangkap bahwa kamu mengira saya memberi seabrek tugas itu karena dendam pribadi tentang Talaga, benar demikian?"
Aku tertunduk malu. Tak sanggup menatap matanya yang kini tertuju langsung ke arahku itu.
Dokter Mia menghela napasnya panjang.
"Kalau kamu jadi saya, kamu marah nggak?" tanyanya. "Laki-laki yang kamu sayangi selama bertahun-tahun, yang kamu pikir akan jadi pelabuhan terakhir kamu, tiba-tiba bilang kalau dia mencintai perempuan lain. Kalau kamu jadi saya ... marah nggak?"