Sepatu itu melekat sempurna di kakiku. Terasa sangat nyaman pula! Seolah-olah semesta memang menciptakannya untuk aku pakai berlari kesana kemari meladeni pasien yang tak habis-habis keinginannya itu.
"Aduh, Ibu! Kalau di lantai begini, badan ibu bisa sakit semua! Saya mohon, naik ke atas kasur ya ibu?" ucapku memelas.
Iya, pasienku malam ini adalah pasien paling aneh yang pernah aku temui. Sudah setengah jam lamanya ia berguling-guling di lantai sambil menangis, persis seperti seorang anak kecil yang sedang tantrum karena tidak dibelikan mainan.
"Maaf, ya, Sus, istri saya biasanya nggak begini," ucap suami pasien tersebut.
Aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum kikuk.
Biarpun belum mengalaminya, aku jelas tau bahwa melahirkan adalah suatu pengalaman yang menyakitkan bagi tubuh. Dan toleransi nyeri tiap orang memang berbeda-beda. Mungkin perempuan yang sedang berguling-guling di ubin dingin ini punya toleransi nyeri yang buruk. Hanya saja, perilakunya yang sekarang juga bukanlah hal yang benar. Bayi yang dikandungnya bisa stres.
"Mbak, bisa cepet nggak sih? Keluarin aja bayi ini dari perut saya! Keluarin!" pekiknya.
"Ibu, bukan begitu konsepnya. Ibu sekarang masih pembukaan lima, kalau ibu paksa mengejan sekarang, kepala bayi bisa gepeng, Bu!" ujarku.
"Saya nggak peduli! Mau gepeng kek! Apa kek!"
Aku bingung harus berbuat apa. Dokter Suvi yang tugas jaga malam ini sedang SC cito. Para bidan sudah tidur dan mereka pasti marah kalau aku bangunkan, tapi aku jelas tidak bisa mengatasi ibu ini sendiri. Terlalu keras kepala.
Byurrr! Tiba-tiba cairan berwarna putih jernih membasahi sepatuku. Dari baunya, aku tau pasti, itu adalah cairan ketuban.
Ya Allah ... kenapa harus di jam jagaku sih?!
"Ibu, ketubannya pecah! Naik ke atas kasur sekarang!" pekikku. Entah karena terkejut atau bagaimana mendengar teriakanku, pasien kali ini menurut.
Aku langsung memasang sarung tangan dan memeriksa jalan lahir pasien itu. Bukaan lengkap. Sudah waktunya melahirkan!
Aku terkejut, tapi tak ada waktu untuk itu. Segera aku menuju kamar bidan dan mengetuk-ngetuk pintu dengan brutal.
"Kak, bukaan lengkap!"
Tak ada respon. Bahkan sampai 3 kali pun tidak ada respon. Aku mulai panik. Mati aku!
Oke, aku memang paham luar dalam mengenai persalinan normal dan cara membantunya. Tapi selama ini aku tak pernah menolong sendiri tanpa bantuan siapapun. Lagipula persalinan normal yang ideal itu terdiri dari dua tim, tim yang membantu ibu dan tim yang memeriksa anak setelah dilahirkan. Nah ini cuma aku sendiri!
Aku kembali ke pasien dan terkejut begitu melihat kepala bayi sudah ada di depan jalan lahir. Aku memutuskan untuk menelepon Dokter Talaga. Ya, di situasi ini, hanya ia yang terlintas di kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...