"Saya rasa hubungan ini tidak bisa diteruskan, Mia."
Kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Rasanya seperti kaset rusak yang semua bagiannya tak lagi bisa dibunyikan, kecuali bagian itu. Aku bahkan sampai menyumpal telingaku--juga menutup mataku erat-erat--dengan earphone, mencoba memutar lagu apapun dari aplikasi pemutar musik namun tak ada satupun yang mempan menghilangkan suara Dokter Talaga.
Damn! Aku tidak paham dengan diriku, memangnya kenapa kalau Dokter Talaga dan Dokter Mia putus? Memang apa signifikansinya untuk kehidupanku?
Tak lama mobil berhenti, kami sampai di sebuah rumah yang terletak di lereng area pegunungan. Aku langsung melepas earphone-ku, lalu turun bersama Malika yang langsung saja menggamit lenganku.
"Aduh! Dingin banget! Kita salah kostum, nih, Wan!" ujar Malika.
Aku hanya bisa meringis getir, pasalnya kini aku merasakan dingin yang menusuk sampai ke tulang rusuk. Rasanya suhu dingin menembus kemeja merah muda yang tengah aku pakai. Kalau tau akan sedingin ini, aku pasti akan pakai sweater atau setidaknya membawa jaket.
"Silakan masuk, Mas, Mbak," ucap Pak Yono--kepala desa--sang pemilik rumah.
Kami memasuki rumah Pak Kepala Desa. Rumahnya cukup besar dengan halaman yang sangat luas, mungkin seluas lapangan bola. Lantainya terbuat dari semen yang dihaluskan sementara dindingnya dari batu bata.
Aku duduk di kursi kayu panjang, tepat di tengah-tengah Dokter Talaga dan Malika. Sementara Pak Kepala Desa duduk berhadapan dengan kami, tepat di depan Dokter Talaga. Tak lama kemudian Istri Kepala Desa menyuguhkan teh dan dua piring kue tradisional dibungkus daun pisang yang masih panas.
"Monggo dimakan, Mas, Mbak. Ndak ada apa-apa, adanya cuma ini, sederhana saja," kata Pak Kepala Desa.
"Ini nggak sederhana, Pak. Kami senang sekali bisa disambut begini," ucap Dokter Talaga.
"Justru kami yang senang karena niat baik Mas sama Mbak sekalian akan sangat membantu desa kami," jawab Pak Kepala Desa. "Monggo dimakan dulu, sambil nunggu sekretaris desa, sedang perjalanan menuju kemari."
"Baik, Pak. Terima kasih," kata Dokter Talaga.
Dokter Talaga kemudian menoleh ke arah aku dan Malika. "Silakan dimakan, Dokter Muda Malika dan Dokter Muda Bengawan."
Aku hanya mengangguk kecil kemudian menyeruput teh yang ada di cangkirku. Malika pun begitu.
Malika membuka bungkusan dari salah satu kue yang disuguhkan, rupanya nagasari; kue isi pisang. Wanginya semakin menguar, wangi campuran antara santan, daun pandan, dan daun pisang.
"Mau dikupasin nggak, Wan? Jari kamu masih nyeri, kan?" tanya Malika, berbisik padaku.
Biarpun masih nyeri dan terbalut kasa yang sebesar jempol kaki, aku tak mau menjadi beban untuk Malika.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...